Minggu, 03 Juli 2011

 
MENELUSURI KEMBALI TRADISI LISAN ETNIK MUNA "YANG TERSISA"

HARDIN*

Foklor lisan dalam masyarakat Muna terdiri atas: (a) ungkapan tradisional (palenda “sindiran”, falia “pemali”); (b) nyanyian rakyat ( modero ‘nyanyian rakyat dilakukan pada saat merayakan musim panen pertanian’ , kantola ‘'berbalas pantun’, kabhanti gambusu ‘nyanyian rakyat dilakukan  pada saat merayakan musim panen pertanian,pesta-pesta rakyat ); (b) bahasa rakyat (patamondono ‘tokoh masyarakat’, modhi anahi ‘tokoh agamalebih  muda’, modhi kamokula ‘tokoh agama  yang lebih tua, koghoerano/kosangiano ‘yang berkuasa dala satu kampung’ , aro desa ‘julukan mantan kepala desa; (d) teka-teki (wata-watangke’ bentuk tanya jawab yang yang biasanya dilakukan anak-anak)  (e) cerita rakyat (kapu-kapuuna ‘dongeng’. Misalnya:   kapoluka bhe ndoke ‘cerita rakya kura-kura denga monyet’ , kau-kaudara ‘bentuk nyanyian rakyat biasanya dinyanyikan seorang ibu saat menidurkan anaknya                                              Foklor setengah lisan dalam masyarakat Muna terdiri atas: (a) drama rakyat (…….); (b) tari ( Linda ‘ tarian biasanya diperankan dipanggung saat proses pernikahan’, owele ‘sejenis tarian biasanya diperankan anak muda dan orang tua sebelum proses pernikahan ); (c) upacara ( kampua ‘upacara pencukuran rambut bayi yang berumur sekitar 44  hari, kasambu ‘upacara ini dilaksanakan apabila bayi dalam kandungan telah berumur tujuh bulan’, katoba ‘uapaca pengislaman seorang anak yang berusia 7- 10 tahun’,  karia ’upacara pembinaan menta anak wanita apabila telah mencapai usia 13 tahun atau pada haid pertama’,  kagaa ‘upacara perkawinan , omate ‘upacara  kematian’. Upacara kematian terbagi atas: a)  kakadiu ‘upacara pembersihan mayat  sebelum di kubur’ , oalo ‘ upacara malam keempatnya’, oefitu, ‘upacara malam ketujuh omoghono ‘upacara malam ke seratus’ , patai ‘upacara hari ketiga, , oseriwu ‘upacara hari ke seribu’. Upacara di bidang pertanian yakni: 1) Kafematai adalah upacara penaburan bibit pertama yang bertujuan agar tanaman tumbuh subur dan berhasil, tidak diganggu oleh hama dan pemilik kebun selalu sehat dan selamat; 2) Kafindahino wite atau katambori atau kasolono wite[1] adalah upacara pertama waktu membuka ladang, yang bertujuan untuk mengetahui apakah tanahnya cocok untuk diolah atau tidak; 3) Kaago-ago adalah upacara menyambut kedatangan musim barat yakni memohon keselamatan dan meminta bantuan pada makhluk ghaib supaya dalam musim ini terhindar dari marabahaya dan produksi jagung berhasil dengan baik; 4) Kaghotino Katumpu adalah memberi hadiah sebagai ungkapan terima kasih kepada pohon-pohon  yang telah mengorbankan dirinya untuk kemaslahatan umat manusia; 5) Kafotobo adalah upacara yang dilaksanakan ketika tanaman jagung mulai berbunga; 6) Kabelai adalah upacara yang dilaksanakan ketika bakal buah jagung mulai ada, dengan tujuan agar bakal buah cepat berisi dan berbuah bagus; 7) Katumbu adalah upacara berupa pesta yang biasanya dihadiri oleh sejumlah undangan sebagai tanda syukur kepada makhluk ghaib yang telah memelihara tanaman jagung hingga berhasil; 8) Katongka adalah upacara panen kedua, yang dilaksanakan ketika jagung berumur 90 hari yaitu ditandai pada kulitnya yang telah mulai kering. (d) permainan dan hiburan (tunuha ‘perayaan kesyukuran atas hasil pertanian mereka yang dihadiri masyarakat umum, pokadudi ’jenis mainan anak-anak atau dewasa yang terbuat dari kayu dengan menggunakan biji-bijian’ , polangkakope ‘sembunyi-sembunyi’, pohule ‘jenis mainan anak-anak yang terbuat dari kayu berbentuk runcing ujungnya yang biasanya dipertandingkan dalam masyarakat’, pokaghati ‘layang-layang; (e) adat kebiasaan ( pokaowa ‘kegiatan tolong menolong/saling membantu secara bergiliran, pokadulu’ kegiatan sosial dalam masyarakat secara bergotong royong), (f) pesta rakyat (…………..).
Foklor nonlisan terdiri atas: (a) material (mainan: poelo ‘ main kelereng’, pobente ‘berkejar-kejaran sampai dapat’, pakaian:  bheta kamooru ‘sarung tenunan’, makanan:  kambose ‘ jagung tua yang di rebus’ makanan khas Muna’, obat-obatan: rokapaea ‘daun pepaya’ obat sakit malaria’, (b) bukan material (osuli ‘seruling’, kapu-puu ‘terompet yang bahannya  dari batang padi dan janur’.
Tradisi lisan dalam masyarakat Muna meliputi antara lain: (a) sastra lisan (..........); (b) teknologi tradisional (kagili ‘alat penggiling  jagung muda yang terbuat dari kayu’, pando newulu ‘tombak yang terbuat dari bamboo yang digunakan untuk menombak babi atau anjing’,  katumbu ‘alat penumbuk jagung atau padi yang terbuat dari kayu); (c) unsur religi dan kepercayaan masyarakat di luar batas formal agama-agama besar, misalnya (kantisele/ karoro ‘proses pengobatan  tradisional melalui mantra-mantra’ , ghoti isa ‘ritual yang bertujuan untuk memudahkan mendapat rezeki atau kemudahan dalam  segala urusan.
            Nantikan pada episode selanjutnya, tuk kelengkapan tulisan di atas…

















KRITIK SOSIAL  PADA MASYARAKAT BALI DALAM LUKISAN KARYA SENI  LUKIS”LALAT DAN BULAN PUNAMA”: KAJIAN WACANA KRITIS

I.      Pendahuan
Setiap karya seni dalam bidang apapun bukan hanya menyampaiakn sisi estetik saja melainkan terkandung di dalamnya pesan atau gagasan dari penciptanya. Adapun  pesan atau gagasan yang disampaikan, baik tersirat ataupun tersurat pada hakikatnya didasari oleh ideologi dari seniman. Hal ini sejalan dengan dengan yang dikemukakan oleh (Takwin, 2003: 11), dalam suatu kelompok masyarakat ideologi sangat sering dipergunakan dalam menuangkan suatu gagasan dalam bertingkah laku untuk mencapai tujuan tertentu. Idiologi disini merupakan suatu ide. Ide berarti konsep dan gagasan. Teori ini,  seorang pelukis karya seni dipergunakan untuk menuangkan ide dan gagasannya untuk mengkritisi fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Di mana, masyarakat Bali saat ini sudah tidak memperhatikan kebersihan lingkungan yang tentu akan mengganggu kesehatan. Jika keadaan lingkungan kotor, kondisi masyarakat tentunya akan mengalami keterpurukan  membuang sampah sembarangan tempat tentu akan berdampak buruk pada kesehatan masyarakat.
Dalam karya seni lukisan terkadang tertuang bentuk ideologi pelukis yang di dalamnya mengandung pesan atau yang membentuk suatu sikap yang kritis, untuk mengkritisi pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat umum yang kurang peduli dengan kondisi lingkungan alam. Simbol lalat yang dihadirkan pelukis dalam karyanya adalah sebagai media untuk mengkritisi fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Di mana, masyarakat selama ini tidak mengindahkan lagi adanya pentingnya dalam menjaga kebersihan lingkungan. Di dalam masyarakat ada semacam suatu pergeseran nilai-nilai dalam kultur sosial dan budaya. Perubahan sosial yang dimaksud seorang pelukis adalah melalui simbol-simbol lalat, yang bermakna sebagai ikon-ikon kebusukan dalam masyarakat.
            Kritik sosial adalah sindiran, tanggapan, yang ditujukan pada suatu hal yang terjadi dalam masyarakat manakala terdapat sebuah konfrontasi dengan realitas berupa kepincangan atau kebobrokan. Kritik sosial diangkat ketika kehidupan dinilai tidak selaras dan tidak harmonis, ketika masalah-masalah sosial tidak dapat diatasi dan perubahan sosial mengarah kepada dampak-dampak disosiatif dalam masyarakat. Kritik sosial disampaikan secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, kritik sosial dapat disampaikan melalui media. Media penyampaian kritik sosial beraneka ragam jenisnya. Karya seni adalah salah satu media paling ampuh untuk menyampaikan kritik sosial.
            Fenomena inilah yang mengilhami seorang pelukis dalam karya seni tersebut, dengan menuangkan ide dan gagasannya lewat lukisannya. Pelukis seni lukis ”Lalat dan Bulan Purnama”  melakukan kritik sosial lewat karya guna menyadarkan masyarakat untuk selalu hidup bersih. Pernyataan pelukis tersebut, berangkat dengan suatu fenomena saat ini masyarakat tidak lagi memperhatikan kesehatan lingkungan, membuang sampah sembarangan tempat akibatnya merugikan masyarakat luas timbulnya berbagai macam penyakit yang melanda masyarakat.                                                                  
            Karya seni tersebut secara denotatif mengambarkan bahwa lalat adalah binatang yang busuk, namun secara konotatif yang mana kalau didekonstruksi akan ditemukan berbagai kritik sosial yang sangat bermanfaat bagi masyarakat maupun bagi pemerintah sebagai penentu kebijakan. Sedangkan ”Bulan” menurut konsep Bali adalah dikonotasikan sebagai sinar Tuhan. Bulan dibedakan menjadi dua, yakni: bulan purnama dan Tilam. Pada bulan purnama upacara dilakukan untuk Tuhan, sehingga Tuhan memberkati manusia, pada bulan tilam, adalah dilakukan untuk menghormati roh-roh yang berhubungan dengan hal-hal yang jahat/buruk sehingga roh-roh tersebut tidak mengganggu kehidupan manusia.
            Oleh karena itu, karya seni rupa ini sangat penting untuk dikaji lebih mendalam dan dijadikan sebagai kritik sosial yang sangat berarti kehidupan sosial budaya. Dalam konteks ini kajian budaya yang merupakan bagian dari kajian filsafat ilmu mempunyai peran penting dalam mendekontruksi makna yang terkandung dalam ideologi pelukis dan lukisan tersebut yang dijadikan sebagai sarana untuk kritik sosial baik pada masyarakat maupun pemerintah sebagai penentu kebijakan dalam rangka melestarikan budaya Bali yang peka dengan kesehatan lingkungan yang bersih, indah dan lestari.
           
II. Pembahasan  
A.    Konsep Wacana Kritis
Teori wacana digunakan untuk memahami fenomena sesial sebagai pengontruksian kewacanaan karena pada prinsipnya  semua fenomena sosial bisa dianalisis menggunakan piranti analisis wacana. Keseluruhan gagasan teori wacana adalah bahwa fenomena sosial itu tidak pernah  selesai dan tuntas. Makna tidak akan pernah bisa membuka jalan menuju perjuangan sosial secara terus menerus  untuk mendapatkan defenisi masyarakat dan identitas yang nantinya bisa menghasilkan efek sosial (Jorgensen & Philips,  2007: 45-46)    Analisis wacana kritis sebagaimana halnya analisis wacana biasa yang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Akan tetapi bahasa dianalisis tidak hanya menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. Fairclough dan Wodak mengatakan bahwa analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing tanpa terlihat dengan nyata, karena seperti yang dikatakan Foucault sudah menjadi bagian dari regulasi sehingga seakan normal apa adanya. Ada beberapa karakteristik Analisis Wacana Kritis, yaitu sebagai berikut:
a) Tindakan
Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Sebagaimana yang dikatakan Foucault bahwa wacana adalah sesuatu yang memproduksi sesuatu yang lain. Dengan pemahaman seperti ini, ada beberapa yang konsekuensi bagaimana wacana harus dipandang. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan: untuk memengaruhi, membujuk, bereaksi, dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.
b) Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Wacana kritis mendefinisikan teks dan percakapan pada situasi tertentu: wacana berada dalam situasi sosial tertentu. Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana yaitu partisipan wacana dan setting sosial tertentu. Oleh karena itu, wacana harus dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang mendasarinya.
c) Historis
Salah satu aspek penting untuk bisa memahami wacana adalah dengan menempatkan wacana iitu dalam konteks historis tertentu. Oleh karena itu, ada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa digunakan seperti itu, dan seterusnya.
d) Kekuasaan
Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya. Di sini setiap wacana tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana penting untuk melihat apa yang disebut kontrol. Kontrol tidak selalu bersifat fisik, tapi bisa juga mental atau psikis. Misalnya kelompok dominan membuat kelompok yang lain bertindak sesuai dengan yang diinginkannya, karena kelompok dominan ini memiliki akses dibanding kelompok yang tidak dominan (http://www.ischool.utexas.edu/~palmquis/courses/discourse.htm diunduh 27 Mei 2009).

B.     Analisis Wacana Kritis dalam Karya Seni
Pada dasarnya seni lukis merupakan bahasa ungkapan baik dari pengalaman arsitek maupun ideologis yang menggunakan warna dan garis, guna mengungkapkan perasaan, mengekspresikan emosi, gerak ilusi, ataupun ilustrasi dari kondisi subjektif seseorang sebagai rujukan penggambaran pada bidang dua dimensi berupa hasil pencampuran warna yang mengandung maksud. Lebih lanjut pengungkapan atau pengucapan pengalaman arsitik yakni ditampilkan daam dua dimensional dengan menggunakan garis dan warna. Di samping itu teknis seni lukis merupakan tebaran warna cair dari permukaan bidang datar kanvas untuk menghasilkan sensasi atau ruangan, gerakan, bentuk yang sama baiknya dengan tekanan yang dihasilkan kombinasi unsur-unsur tersebut sehingga dapat mengekspresikan emosi, ekspresi, simbol keragaman dan nilai-nilai lain yang bersifat subjektif (Mikke, Susanto, 2002: 71).
            Aspek seni adalah hasil ciptaan seniman yang merupakan wujud ungkapan, isi, pendangan, dan tanggapan ke dalam bentuk fifik, yang dapat ditangkap oleh inra. Oleh karena itu, maka di dalam bentuk seni terdapat hubungan antara bentuk isi yang dikandungnya. Konsep bentuk menyeruti dan membatasi apa yang ingin diketahui, dalam kaitan ini keterwujudan atau bentuk menandai  keberadaan sesuatu yang fenomenal itu dapat digapai secara inderawi yang dapat fakta-fakta empirik. Fakta-fakta empirik seperti peristiwa dan gejala alam yang terikat dengan manusia, masyarakat dan kebudayaan itu dihubung-hubungkan dan diangkat saripatinya. Dengan demikian, maka pengetahuan kebenaran objek tentang sesuatu yang atau hal yang berbentuk itu menjadi lebih menyeluruh ditentukan (Bagus, 1988: 55). Seni lukis sebagai salah satu cabang kesenian, di samping seni lainnya merupakan kesenian yang sangat menonjol di dalam masyarakat Bali. Sebagaimana halnya dengan kesenian lainnya maka seni lukis pun lahir berkaitan dengan kehidupan manusia.
            Dalam buku Filsafat Seni ( Gie, 1996: 31) dijelaskan bahwa seni lukis adalah penggabungan dari berbagai garis, warna, tekstur ruang, dan di bentuk pada suatu permukaan yang bertujuan menciptakan image-image. Image tersebut merupakan ekspresi ide, emosi, dan pengalaman hidup yang dibentuk sedemikian rupa sehingga tercapai harmoni. Seni lukis ”Lalat dan Bulan Purnama” adalah sebagai suatu simbolisme untuk mencermati suatu kenyataan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Karena, kecenderungan masyarakat masa kini lebih cenderung memperhatikan kepentingan dirinya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan orang banyak. Hal ini dapat dilihat pada maraknya, polusi lingkungan tidak sehat yang mengakibatkan terjadinya ketidakstrabilan kesehatan masyarakat itu sendiri. Dengan fenomena seperti itu, mengundang perhatian masyarakat yang peduli dengan kesehatan ingkungan alam yang salah satunya para seniman lewat karyanya menuai kritik sosial untuk memperhatikan adanya kebersihan lingkungan. Salah satu yang berperan disi adalah pelukis seni lukis  Lalat dan Bulan Purnama” ini.  Seni lukis ”Lalat dan Bulan Purnama” yang dilukis penulis tersebut, berangkat dari fenomena sosial yang hidup dalam masyarakat. Pelukis diilhami suatu dorongan adanya kepedulian dengan kebersihan lingkungan.  Lukisan tersebut, mengkritisi pelaku-pelaku yang membuang sampah sembarangan untuk menyadarkan diri akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.

C.    Analisis Nilai Karya Seni Lukis
            Setiap pelukis dalam berkarya tentu memiliki arti dan makna tertentu yang terkandung di dalamnya. Nilai yang terkandung dalam dibalik simbolisme seni lukis ”Lalat dan Bulan Purnama” yang dilukis pelukis, berperan untuk mengintrusikan kepada masyarakat luas agar tetap menjaga kebersihan lingkungan demi terciptanya kehidupan masyarakat yang sehat, aman, dan sejahtera. Hal ini sejalan yang dikemukakan oleh (Piliang, 2004: 323) bahwa ikon-ikon lalat ditampilkan sebagai cerminan dari masyarakat kontemporer yang kerap dikuasai hawa nafsu serta cenderung memiliki sifat-sifat yang haus guna pemuasaan diri.  Lebih lanjut Gertz (dalam Saifuddin, 2006: 288) mengemukakan defenisi  seni rupa sebagai berikut; (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang makna simbol-simbol tersebut individu-individu mendefenisikan dunia mereka, mengekspresikan dunia mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolis, yang melalui bentuk-bentuk simbolis tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dan informasi; dan (4) oleh karena seni rupa adalah suatu sistem simbol, maka harus dphami, diterjemahkan, dan diinterpretasi.
            Seorang pelukis dalam karya seninya yakni,  Lalat dan Bulan Purnama” dapat mengejewantahkan ideoginya dalam mengkritisi pelaku-pelaku yang tidak peduli dengan kesehatan lingkungan dalam  kehidupan sosial budaya masyarakat. Salah satu yang diharapkan pelukis adalah dengan melalui karyanya menyimbolkan ”Lalat dan Bulan Purnama” yang sarat makna dapat menyadarkan masyarakat untuk tidak membuang kotoran/sampah sembarangan tempat guna terciptanya  kehidupan masyarakat yang sehat. Hal ini sesuai dengan filosofi pelukis sendiri yakni ”aku (lalat) karna kamu yang kotor (manusia, seandainya kamu yang bersih tidak membuang kotoran sembarangan aku akan menjadi binatang yang tidak dimusuhi manusia”. Maksud dari filosofi di atas adalah sesungguhnya lalat  tidak semestinya diidentikan dengan binatang yang kotor. Jika kondidi lingkungan, maka binatang yang hidupnya bersih seperti  manusia manakala manusia tidak menciptakan kondisi lingkungan yang kotor. Jika kondisi lingkungan bersih, maka binatang lalat tidak diidentikan dengan binatang yang bersahabat dengan manusia. Oleh karena itu, melalui lukisannya ”Lalat dan Bulan Purnama pelukis mengharapkan adanya kesadaran masyarakat untuk memperhatikan kebersihan lingkungan.
            Melalui simbolisme seni lukis ”Lalat dan Bulan Purnama”, pelukis sesungguhnya telah melakukan kritik sosial terhadap fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat saat ini. Di mana, masyarakat tidak lagi memperhatikan kebersihan lingkungan. Masyarakat cenderung membuang sampah/kotoran di sembarangan tempat, tanpa memikirkan dampaknya dalam kehidupan  masyarakat luas. Binatang (lalat) yang dalam pengertian sehari-hari menggambarkan suatu citraan atau nilai-nilai tentang kekotoran dan kebusukkan. Pemahaman masyarakat tentang adanya binatang (lalat) ini identik dengan kebusukkan dan kotoran yang akan membahayakan bagi kehidupan.
            Penyandingan dan pembandingan ikon lalat dengan kritik sosial pemaknaan masyarakat terhadap binatang (lalat) selama ini yang menganggapnya sebagai binatang yang kotor. Dengan kata lain, simbol binatang (lalat) yang dihadirkan penulis bukanlah pemaknaan lalat yang melekat padanya sebagai binatang yang kotor. Tetapi melalui lukisan  Lalat dan Bulan Purnama” itu, menyadarkan pada masyarakat luas akan pentingnya kebersihan lingkungan untuk hidup sehat, aman, dan tentram.         

D.    Makna yang Terkandung dalam Karya seni Lukis  
            Setiap pelukis dalam berkarya tentu memiliki arti dan makna tertentu yang terkandu di dalamnya. Entah makna sebuah karya lukisan itu memiliki makna untuk keindahan, estetika, ketenraman dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, Dalam fenomena seni (Kayam Umar, 1981: 6) menjeaskan bahwa nilai atau makna biasanya dianggap sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan atau secara lebih khusus dengan dunia simbolik adalah dunia yang menjadikan tempat diproduksi, direproduksi dan disimpan muatan mental dan kognitif kebudayaan, baik berupa pengetahuan dan kepercayaan dan berupa makna dan simbol, maupun nilai-nilai dan norma yang ada dalam suatu kebudayaan masyarakat. Kebudayaan sebagai suatu simbol tampaknya lebih bersifat abstrak dan sulit untuk diobservasi, tetapi sebagai suatu kompleks aktivitas manusia yang dipandang sebagai sistem sosial, akan lebih konkrit dan mudah dipahami(Koetjaraningrat, 1985: 100).Bentuk bahasa merupakan sarana atau media yang dipergunakan seseorang untuk menyampaikan ide, gagasan, maupun pandangan pada orang lain atau pada masyarakat pada umumnya. Bentuk bahasa tidak hanya berupa kata-kata yang diucapkan seseorang, tetapi juga media lain yang dapat menampung atau menyalurkan buah pikiran.
            Makna sebagai aspek aksiologis dalam ilmu pengetahuan digunakan demi kehidupan manusia. Dengan ilmu pengetahuan manusia harus lebih mampu memanusiakan kebenarannya, lebih meningkatkan harkat dan mutu kemanusiaan dengan peringkat keberadaan yang lebih memuncak (Bagus, 1988: 55) Pembahasan dalam penulisan makalah ini didasarkan pada teks ”Lalat dan Bulan Purnama” dengan konteks hubungan manusia dengan lingkungan alam pada masyarakat Bai. Teks ”Lalat dan Bulan Purnama”  yang menjadi analisis dalam lukisan ini adalah dianalisis secara kritis dengan melihat simbol yang ada poada teks tersebut. Analisis yang dilakukan dengan melihat makna konotasi yang ada pada teks bukan makna denotasi. Dalam konteks ”Lalat dan Bulan Purnama” secara semiotika adalah mengkaji makna yang terkandung dibalik lukisan ”Lalat dan Bulan Purnama” tersebut.
            Menurut pelukis karya seni lukisan ”Lalat dan Bulan Purnama” ini mengatakan bahwa lukisan tersebut sarat dengan makna, binatang lalat adalah binatang yang menjijikan, binatang yang dimusuhi banyak orang, yang sehari-hari bermakna atau merujuk kepada sesuatu yang kotor, bisa juga ditampilkan dengan arti yang sebaliknya. Lalat itu dengan kombinasi cahaya yang bersifat mistis, lahir dengan pemaknaan yang lebih luas dan kompeks, bahkan dapat berbau spritual, setidaknya dapat melampaui makna kotor itu sendiri. Lalat itu bukan sajamemiliki makna simbolis yang kaya dan memungkinkan merefleksi keprihatinan manusia dan lingkungan alamnya dalam masyarakat (Bali Post 08 Oktober 2006).
            Pelukis karya seni ini, dalam mengeksploitasi binatang termasuk komunitas serangga ini dengan beragam kemungkinan visual dan juga aneka peluang maknanya sebagai subjek meter dari kreatif inovatinya dalam ranah  kesenirupaan, untuk mengungkap realitas sosial. Di samping juga menyeret imajinasi dan intuisi para pengamat, kritikus dan koruktor termasuk publik luas untuk mengakspresiasi setiap makna yang terbesit dalam visual simbplik binatang lalai itu sebagai perenungan menuju ke depan yang lebih baik. Intinya, bila ingin hidup lebih baik maka menghindari yang kotor (binatang lalat) agar tidak terjebak pada hal-hal yang kotor yang merugikan.
            Lukisan ”Lalat dan Bulan Purnama”  tersebut, adaah salah satu karya yang sangat sarat dengan makna. Berdasarkan hasil dari kritik sosial  dengan meninterpretasi simbol dari lalat dan bulan purnama, dimana lalat dikonotasikan sebagai keindahan ingkungan dan keharmonisan hidup dalam masyarakat. Di samping itu, lukisan ”Lalat dan Bulan Purnama” yang dilukis pelukis, mempunyai manfaat untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal dan diharapkan untuk selalu menjaga kelestarian lingkungan yang bersih demi ketercapaian kehidupan yang sehat, aman dan tentram. Masyarakat Bali, akan hidup sehat manakala ada kesadaran bersama masyarakatnya untuk menjaga kebersihan lingkungan, agar tercapai kehidupan yang harmonis antar sesama. Jika masyarakat sudah menanamkan kesadaran dalam membudayakan hidup bersih, akan tercapai kembali konsep hidup masyarakat Bali yang dikenal Tri Hita Karana. Dari konteks tersebut dapat dipahami Hita sebagai kebahagian, kesajahteraan yang dapat dicapai melalui hubungan yang harmonis manusia dengan alam (Pelemehen).  
            Dalam seni lukis ”Lalat dan Bulan Purnama” dapat dimaknai pula dala hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Manusia memperoleh bahan keperluan hidup dari lingkungannya. Manusia dengan demikian sangat tergantung kepada lingkungannya. Oleh karena itu masyarakat Bali seharusnya selalu memperhatikan situasi dan kondisi lingkungannya. Lingkungan harus selalu dijaga dan dipelihara serta tidak dirusak dalam artian tidak membuang kotoran/sampah sembarangan tempat. Lingkungan harus selalu bersih dan rapi. Lingkungan tidak boleh dikotori atau dirusak. Jika demikian adanya, akan dapat menganggu keseimbangan alam. Lingkungan justu harus dijaga kerapiannya, keserasiannya dan kelestariannya. Lingkungan yang ditata dengan rapi dan bersih akan menciptakan keindahan. Keindahan lingkungan dapat menimbulkan rasa tenang dan tenteram dalam diri manusia. Dengan demikian, makna yang terkandung dalam seni lukis ”Lalat dan Bulan Purnama” adalah menumbuhkan keindahan linkungan alam, dan menjaga kesehatan masyarakat.

III. Penutup
            Dari hasil analisis seni lukis ”Lalat dan Bulan Purnama”  dengan menggunakan kajian wacana kritis dapat disimpulkan bahwa karya seni tersebut mengkritis fenomena sosial budaya yang hidup dalam masyarakat selama ini yang tidak memperhatikan kebersihan lingkungan. Fenomena selama ini dalam masyarakat Bali memiliki kecenderungan mengedepankan kepentingannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan masyarakat luas. Sehingga dengan adanya seni lukis ”Lalat dan Bulan Purnama”  pelukis memiliki ide dan gagasan baru untuk mengambil menyadarkan masyarakat Bali akan pentingnya kebersihan lingkungan untuk tetap hidup bersih, sehat, aman dan tentram.   

 

DAFTAR PUSTAKA

Bali Post. 2008. Wayan Sumantra Mengangkat Harkat Lalat
Gie The Liang, 1997. Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna
Gie, Umar. 1981. Seni Tradisi, Masyarakat.  Jakarta: Seni Harapan
Jorgensen, Marienne W & Phllips, Louse J. 20007. Nalisis Wacana dan Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Koetjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia
Kayan
Mikke, Susanto. 2002. Diksi Seni Rupa Kumpulan Istilah Seni Rupa. Yogyakarta: Penerbit Kanius
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Postrealitas Realitas Kebudayaan dalam era Postmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra
Saifuddin, Ahmad Faedyani. 2006. Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana
Takwin, Bagus. 2003. Akar-akar ideoogi ”Pengantar Konsep Ideologi Dari Plato Hingga Bourdieu”. Yogyakarta:
Sumber Internet:
Jalalustrahttp://www.ischool.utexas.edu/~palmquis/courses/discourse.htm diunduh 27 Mei 2009

RENUNGAN MALAM


RENUNGAN MALAM (JUMAT KLIWON)
“*NIKMATNYA HIDUP KETIKA  BERGELUT DALAM MASALAH*
OLEH
HARDIN*
Kini saatnya kita harus berbenah diri. Kuterbangun dalam khayalan tak pasti. Hidup ini memang penuh dengan hamparan kisah yang tak terlupakan di sepanjang masa. Ketika kumaknai hidup ini, ternyata hidup ini penuh kisah dan derita, ada susah ada pula senang, ada kesengsaraan dan ada pula kebahagiaan, ada tawa dan ada pula tangisan. Tapi itu hanyalah sebuah proses hidup yang harus mesti  kita maknai.
            Dalam hidup ini hanya satu keyakinan yang membuatku tegar dengan penuh semangat. Kisah-kisah serta kenangan hari ini merupakan hamparan tangisan di masa-masa mendatang. Demikian pula, tangisan hari ini merupakan sebuah potret kebahagian di masa mendatang.
            Olehnya itu, kiranya manusia kini saatnya merenungi fitrahnya, bahwa ia makhluk yang lemah: Kesempurnaan manusia hanyalah milik Sang Pencipta yang mesti kita yakini. Bagiku, masalah adalah sesuatu yang mendewasakan diri. Ketika bergelut dalam masalah berarti kita mengasah potensi kita untuk eksis dalam hidup ini. Orang bijak berkata: hidup ini tak ada yang mustahil untuk kita perbuat, yang penting ada kemauan. Dengan demikian, berarti bukan masalah bila tidak ada solusinya.
            Banyak orang bijak di penghujung dunia ini “besar” karena  hinaan, cacian dan makian, bahwa kegagalan itu sebuah masalah. Namun, realitas hari ini banyak orang sukses dibesarkan oleh masalah. Karena dengan masalah yang dihadapilah, manusia bisa mengetahui kelebihan dan kekurangannya.
            Tanamkan trus jalanilah hidup ini dengan rasa penuh optimis, serta menyusun "planing" untuk menopang masa depan mendatang yang penuh kebahagian dunia akhirat. Wallahu Allam Bissawab.....................................
                                                                                   
           YOGYAKARTA, 02-07-2011

                                                                                          HARDIN