Rabu, 29 Juni 2011

REVIUW JUDUL BUKU: SEJARA FILSAFAT NUSANTARA : HARDIN*


REVIUW BUKU

SEJARAH FILSAFAT NUSANTARA
Alam Pikiran Indonesia

Buku yang berjudul “Sejarah Filsafat Nusantara: Alam Pikiran Indonesia” yang ditulis oleh Mudji Sutrisno, dkk sangat penting untuk dimiliki oleh mahasiswa, kaum intelektual akademisi dan umum. Dalam tulisan ini saya akan mengulas atau merevieu ditulisan oleh Mudji Sutrisno dengan topik” Indonesia di Antara Rekatan Kebhinekaan” Untuk memperjelas pokok-pokok pikiran yang ditulis oleh penulis buku tersebut, dapat dilihat berikut ini.
            Berpikir logis-dari asal katanya “logos” yang berarti berpikir dengan model mengurai kenyataan, menurut aturan “logos” yaitu kebenaran rasionalitas budi. Cara kerjanya dari penggolongannya, mengurainya secara rasional, mengotakkannya dalam kategori sebab-akibat atau antara logis (bisa disistematisasi secara ratio) dan ilogis (tidak bisa ditemukan penalaran logisnya). Sedang berpikir simbolis adalah menggunakan penalaran untuk mengetahui, memahami kenyataan namun lewat simbol-simbol atau tanda-tanda. Watak-watak pokok pemahaman logis terdiri atas dua, yakni: pertama, ia berciri mengurai. Praktis mengurai ini penggolongan kategori-kategori akal budi tergantung sistematika rasional yang dipilih. Kedua, mengatur dalam sebuah sistematisasi. Jadi, watak pemahaman logis adalah mengurai, menganalisis.    Ciri utama pemahaman simbolik adalah merajut, menenun, sintesis, mengutuhkan. ”Eros” dan ”thanatos” merupakan dua kekuatan primordial purba peradaban dari Freud yang mengacu kebudayaan di ranah Nusantara yang majemuk, kaya pluralitas kantong-kantong kearifan lokal, kekayaan-kekayaan agama, keragaman sumber-sumber keindahan.                                                                                                                                         Penelitian Walter J. Ong, seorang ahli kebudayaan dalam tradisi lisan (berkisah oral lewat mulut ke mulut)  dan tradisi tulisan yang mendisiplinkan logika ke konsentrasi fokus tulisan sehingga kebudayaan tulisan sama peranannya dengan sintesis, memfokuskan dan mendisiplinkan lewat menulis dengan tujuan untuk peradaban bangsa. Indonesia adalah ”Bhineka” kekayaan penyusunnya dari ragam etnik,  agama, tradisi keindahan dan kebijaksanaan lokalnya, saling menghormati dalam segala perbedaan budaya sehingga kebhinekaan Indonesia dapat terwujud dalam implementasinya.  Bung Hatta, Bung Sjahrir, Bung Agus Salim, dkk. Mereka memiliki kesadaran bersama mengenai dua sumber kekuatan meng-Indonesia dari kebhinekaan. Mereka mengatakan bahwa sintesis sebagai proses harus dibuat dalam Soempah pemoada bersatu bahasa bersatu bangsa dan bersatu tanah air dan politik kolonialisme telah memecah belah dan meretakan pluralisme (pluralitas). Dengan adanya kesadaran bersama akan melahirkan kebijaksanaan hidup dalam keberagaman.                                                       
Berikut ini akan menguraikan pemikiran Hatta dan Socrates pada ”Pencerdasan Kehidupan”. Socrates menegaskan bahwa ”hidup yang  direnungi dalam refleksi bukanlah hidup yang manusiawi” (Apologia Bab 38a).  Rakyat Indonesia harus berdaulat itulah obsesi perjuangan Hatta. Hatta berdialog dengan Socrates dalam tataran refleksi hidup dengan budi cerah cerdas lewat ”knolwledge” dan rasionalitas, dalam menziarahi merupakan  penyeimbangan (proses harmonisasi) antara dorongan jahat dengan kebaikan dalam diri manusia agar berbuah kehidupan berbuah keindahan, kebenaran dan kebaiakan.                                                                                                                                         Pandangan Socrates mengenai pengetahuan yang menjadi sikap hidup memakai akal budi untuk melepaskan diri dari alam pikiran mitis, takhayul. Di hadapan dikotomi pelawanan anatara yang pisik dan yang batin, Socrates menunjuk budi batinlah tempat refleksi renungan atas hidup. Kualitas manusia ada pada budinya melampaui materi atau benda, yang dipakai sebagai tempat menimbang, dan merenung. Tujuan Socrates adalah mendidik orang dalam mencari kebenaran. Sikapnya terhadap aliran yang mendangkalkan pengetahuan dan melemahkan rasa tanggung jawab adalah berontak. Orang diajak, dengan filosofi yang yang diamalkan dalam cara hidupnya (oleh Socrates) untuk memperbaiki masyarakat yang rusak.                            Pandangan Socrates tersebut, sangat penting untuk diaktualisasikan atau diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini, jika melihat berbagai fenomena sat ini banyak yang terjadi  misalnya, berbagai konflik antar etnik, adanya berbagai penindasan pada kaum yang lemah, dan lain-lain. Dengan demikian, untuk memperbaiki fenomena tersebut perlu adanya kesadaran bersama dal kebersatuan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan.    
Proses pendewasaan bangsa dalam karakternya perlu ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Socrates menunjukkan tiga tahap yang dilakukan, yakni (1) Metode kebidanan Socrates. Ia dalam mencari kebenaran, ia tidak memikir sendi melainkan tiap kali berdua dengan orang lain lewat tanya jawab. Orang kedua tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai lawan diajak bersama mencari kebenaran. (2) Diajak menangkap esesnsi (yang pokok)  dengan mencari kebenaran  seperti terlaksananya  tujuan lain yaitu ”membentuk karakter”.Ia mengatakan budi ialah tahu. Maksudnya  ialah budi yang baik timbul karena pengetahuan. (3) menghayati laku pelaksanaan dari tahu benar pasti bisa diharapkan akan menghayati  yang benar dalam hidup. Ia mengatakan budi ialah tahu berdasar timbangan yang benar. Orang yang berpengetahuan (benar) dengan sendirinya berbudi baik. Siapa mengetahui hukum mestilah bertindak sesuai dengan pengetahuannya. 
Menurut Soekarno dan Hatta, semestinya budi atau pikiran jernih anugrah Yang Illahi dan cahaya hati, ditumbuhkan semakin dewasa melalui pendidikan. Karena pendidikan merupakan pemekaran kemampuan menimbang, mengeksplorasi budi, kemampuan merasai hidup dan menghayatinya penuh syukur dalam estetika dan membuat sesama dan alam semesta lebih sejahtera dalam religuisitas lewat sistem pendidikan, visi dan praksis memproses kehidupan yang majemuk suku, dan agama.  Pemekaran kemampuan estetis, pemahaman logis, religius manusia dalam menghadapi tantangan, berhadapan dengan krisis  kepercayaan, derita dehumanisasi sebagai situasi negatif pertama. Situasi negatif kedua adalah situasi sedang diluluhlantahkan acuan nilai bersama yang awalnya memiliki nilai cita-cita dan nilai penghayatan nyata (nilai aktual).     
Dalam kondisi sosial dimana acuan hidup konsumsi terus menerus diracuni oleh perbendaan atau reifikikasi, maka kesadaran kritis manusia mampu menyadari 3 kemampuan pokoknya telah lumpuh dengan peradaban baru yang melanda bangsa ini. Kemerdekaan mentalitas dan pendidikan karakter budi dan nurani sudah pernah dihayati dengan darah pengorbanan oleh para pejuang pendahulu utamanya Bung Hatta dan Sukarno. Tokoh bangsa Soekarno dalam flamboyannya, penuh gelora pathos, orator  mengenalkan politik kultural kebanggan bersama sebagai bangsa  yang saling peduli dalam ”solidarity making a nation and character buiding”. Sedangkan Hatta, dengan rasional disiplin karakter kuat administratif mendidik karakter teguh moral dan budi mengurus kemajemukan bangsa dan mencontohi dengan hidupnya yang disiplin, askestis religius, namun ia memikirkan kemerdekaan bangsa lewat pendidikan  watak dan pencerahan budi mulai mulai dari perhimpunan bangsa Indonesia, pendidikan nasional Indonesia sampai ke pentingnya bersumber pada peradaban  budi yang fajar, yang rasional hingga ekonomi  bisa diadministrasi demi melihat ke ekenomi miskin rakyat banyak melawan ekonomi penjajah.   
 Pemikiran Bung Karno  tentang bangsa ini melalui semangat yang tinggi dan merekatkan bangsa saling peduli  dengan estetika rasa, saling menghargai, menghormati antar sesama. Sedangkan, Bung Hatta memperjuangkan bangsa ini lewat rasionalitas budi pendidikan pencerahan yang disiplin kontrol diri dan bernegara guna menjaga pemekaran potensi manusia  Indonesia untuk kognitifnya dan religiusnya. Lalu, untuk mendorong semangat perjuangannya Soekarno mendirikan monumen nasional, museum seni, galeri nasional sebagai ruang untuk merdeka dan tetap bersatu.   Sedangkan, Bung Hatta mewariskan wujud bangunan  ”perpustakaan nasional” . Dengan warisan perpustakaan tersebut, karakter dan visi pendikan diperuntukkan demi masa depan peradaban bangsa lewat  budaya baca-tulis  dan pustaka ilmiah itulah kultural dan pendidikan peradaban visi jauhnya dirasakan rakyat sampai masa kini. Disinilah menyatunya dua guru bangsa untuk visi pemekaran peradaban dalam kesadaran religiusitas syukur atas anugerah merdeka yang harus diperjuangkan dan diwujudkan.
Dari dua pemikiran tokoh bangsa yakni soekarno dan Hatta tersebut saat ini mengalami degradasi kultural yang sudah terbangun pada bangsa ini. Bangsa saat ini sudah terombang-ambing dari berbagai persoalan yang ada. Banyak pengaruh dari pihak luar yang mencoba merusak budaya bangsa ini saat ini sudah mulai dirasakan. Hal ini dapat dilihat berbagai fenomena yang ada, misalnya: konflik antar etnik, konflik perbedaan keyakinan (agama), banyaknya perubahan budaya-budaya lokal yang punah akibat dari pengaruh globalisasi, dan lain-lain. Jika hal ini tidak diantisipasi maka dikhawatirkan bangsa ini akan terombang-ambing dengan pengaruh-pengaruh dari budaya luar sehingga berimplikasi pada bangsa ini kehilangan identitas.
            Kemudian, pada aspek yang lain pokok pembahasan buku ini sesungguhnya  pada intinya merekonstruksikan kepada masyarakat akan adanya semangat menegakan kebhinekaan, dengan dibekali pengetahuan yang matang. Sebab, dengan pengetuan atau pendidikan yang matang yang dimiliki generasi bangsa ini akan terwujud rasa kebersamaan, bersatu dalam keberagaman dan menjunjung tinggi nilai-nilai ”kebhinekaan” sehingga melahirkan bangsa yang aman, maju, dan sejahtera.
            Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya mencoba mengemukakan kelebihan isi buku, kekurangan isi buku, dan kontribusi buku tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dibawah ini.    
Kelebihan isi buku tersebut adalah; pertama, dengan pemikiran-pemikiran yang disampaikan penulis mampu menyadarkan pembaca akan adanya pentingngya menjaga kebudayaan-kebudayaan lokal yang dimiliki masyarakat demi kepentingan bersama dan menjunjung tinggi nilai-nilai ”kebhinekaan”; kedua, memberikan pemikiran baru untuk menjunjung tinggi nilai-nilai ”kebhinekaan” guna menjaga martabat dan harga diri bangsa; ketiga, buku tersebut sangat memberikan inspiratif kepada khalayak akan adanya mempererat hubungan kebersamaan, saling menghargai, menghormati dan tolong menolong diantara sesama baik sesama etnik, agama, maupun berbeda  etnik atau agama; keempat, buku ini dapat dijadikan sebagai rujukan bagi pembaca awam yang berkehendak memahami lebih jauh tentang filsafat manusia dan kebudayaan. 
             Kekurangan isi buku tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut: pertama, pembahasan buku tersebut belum menjawab persolan kondisi bangsa yang sebenarnya, maka perlu di dalami kembali dalam pengkajiannya. kedua, bahasa yang digunakan terlalu ilmiah sehingga pembaca yang awam sulit memahaminya.   Sedangkan, kontribusi isi buku tersebut adalah; pertama, buku tersebut  sangat bermanfaat kepada mahasiswa, dosen dan masyarakat yang ingin mendalami ilmu filsafat manusia dan kebudayaan; kedua, buku ini juga sangat bermanfaat untuk dimiliki karena di dalamnya telah memberikan pemikiran-pemikiran yang positif dalam memandang budaya Indonesia, dan memahami pemikiran pada nilai-nilai ”kebhinekaan”; ketiga, Buku tersebut, memberikan kontribusi: 1) dalam nuansa pengetahuan keilmuan tentang kebuadayaan “kebhinekaan”; 2) untuk memperluas  wawasan bagi mahasiswa, dosen, dan masyarakat umum yang ingin mendalami ilmu filsafat manusia dan kebudayaan;                                





Tidak ada komentar:

Posting Komentar