Rabu, 29 Juni 2011


MARGINALISASI PEMERINTAH T1RHADAP  PENERAPAN PEMBANGUNAN EKONOMI KAPITALISME
HARDIN*
I.    Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang menempati urutan ke 18 dari 20 negara yang memiliki  PDB terbesar di dunia pada tahun 2009 mengalahkan Swiss dan Belgia yaitu mencapai US$ 540,3 miliar. Berdasarkan data Bank Dunia PDB Swiss dan Belgia pada tahun 2009 masing-masing sebesar US$ 491,9 miliar dan US$ 471,2 miliar.  Sementara negara yang mempunyai PDB terbesar di Dunia pada tahun 2009 ditempati oleh Amrika Serikat yang mempunyai PDB mencapai US$ 14.119 miliar. Posisi kedua ditempati oleh Jepang dengan total PDB US$ 5.069 miliar, posisi ketiga ditempati oleh China dengan total PDB US$ 4.985 miliar, posisi keempat ditempati oleh Jerman dengan total PDB sebesar US$ 3.330 miliar, posisi kelima ditempati oleh Prancis dengan total PDB sebesar US$ 2.649 miliar. Posisi ke enam sampai ke tujuh belas masing-masing ditempati oleh Inggris, Italia, Brazil, Spanyol, Kanada, India, Rusia, Australia, Meksiko, Korea Selatan, Belanda dan Turki.                                                                                 Besarnya jumlah PDB Indonesia yang menempati urutan ke 18 di dunia membawa Indonesia tergabung ke dalam G20 yaitu forum ekonomi dunia yang terdiri dari 20 negara dengan PDB global yang besar dan jumlah penduduk yang tinggi dimaksudkan untuk mencari jalan keluar agar terjadi kembali keseimbangan perekonomian dunia. Kemajuan ekonomi Indonesia menandakan adanya proses pembangunan ekonomi yang terus dilakukan. Akan tetapi kemajuan ekonomi Indonesia yang ditandai dengan terjadinya pertumbuhan tidak diimbangi dengan pemerataan di setiap daerah di Indonesia.                                                                             Ketidakmerataan terhadap pembangunan di Indonesia terlihat dari adanya disparitas pendapatan antar provinsi di Indonesi. Disparitas antar daerah tidak dapat dihindari akibat tidak terjadinya efek perembesan ke bawah (trickkle down effect) dari output secara nasional terhadap masyarakat mayoritas bahkan sampai saat sekarang (reformasi). Kenikmatan hasil output nasional hanya dinikmati oleh segelintir golongan minoritas. Angka kemiskinan absolut justru meningkat karena semakin lebarnya jurang perbedaan antara golongan kaya dengan golongan miskin (Savitri 2009: 38).                                                                                                        Pembangunan ekonomi merupakan salah satu upaya yang mutlak dilakukan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat dalam negara yang ditandai dengan adanya peningkatan pendapat berkapita dalam jangka panjang. Untuk itu diperlukan serangkaian upaya agar pembangunan tersebut berjalan dengan baik (Mulyani: 2007). Pembangunan ekonomi menurut Meier adalah suatu proses di mana pendapatan perkapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup dibawah “garis kemiskinan absolut” tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang (Meier dalam Kuncoro, 2000: 17). Jadi pembangunan ekonomi tidak hanya memperhatikan pertumbuhan tetapi juga pemerataan disamping juga aspek-aspek lain  baik aspek ekonomi maupun aspek non ekonomi. Ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan yang sesuai dengan pendapat Nehen dan Meier yaitu pertama, aspek keadilan dan pemerataan. Aspek keadilan dan pemerataan kalau kita tinjau dari sisi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi antar daerah yaitu terjadinya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang merata di setiap daerah dan tidak hanya terjadi di beberapa daerah tertentu saja.                                           Kedua, aspek kemakmuran yang dapat direfleksikan dengan pendapatan masyarakat yang dapat dikonsumsi untuk meningkatkan kesejahteraan. Pendapatan masyarakat diasumsikan diwakili oleh pendapatan perkapita masyarakat disetiap daerah. Melalui peroses pemebangunan pendapatan perkapita harus diusahakan tumbuh dan merata di setiap daerah. Pendapatan perkapita setiap daerah dapat tumbuh positif apabila pertumbuhan nilai output atau pendapatan regional melebihi pertumbuhan jumlah penduduk di setiap daerah yang dihitung pendapatan perkapitanya.            Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah keduanya merupakan landasan hukum bagi Pemerintah Kabupaten/Kota daerah otonom untuk mangatur dan menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan asas otonomi. Pada prinsipnya kedua undang-undang tersebut menjamin dan sekaligus memberikan tanggung jawab kepada pemerintah daerah untuk mengelola, mengembangkan potensi suatu daerah dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang optimal.                                                                 Krisis ekonomi yang berkepanjangan telah menyebabkan hancurnya sebagian besar sistem produksi dan distribusi berbagai komuditas dan produk industri andalan Indonesia. Demikian pula, kegiatan perdagangan semakin melemah. Upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan selama ini belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Menurut Mubyarto (1998) bahwa penyebab terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, seperti: (1) terlalu berpikir global akibatnya mengabaikan ekonomi rakyat; (2) terlalu individualistik yang hanya memikirkan kepentingan sendiri sehingga menghasilkan kesenjangan sosial yang mencolok; (3) terlalu bisnis dan pfofit-oriented sehingga mengabaikan masalah-masalah moral dan etika; (4) terlalu industry-minded sehingga melupakan pertanian dan pedesaan; (5) terlalu percaya kepada dasar sehingga melakukan dere-gulasi yang  kebablasan tanpa menyadari bahwa pasar liberal akan mematikan yang kecil dan; (6) terlalu berpihak kepada konglomerat yang serakah sehingga ekonomi rakyat ditelantarkan.                                                                                                                       Sistem ekonomi kapitalis yang dianut sejumlah negara terma­suk Indonesia lambat laun menunjukkan wajah paradoksal-nya. Satu sisi ia menyodorkan fakta tak terbantah keberhasilan sistem itu mendorong laju pertumbuhan ekonomi, tetapi di sisi lain ia juga mendorong pertumbuhan kriminalitas konvensional dan konvensional (whitw collar crime). Bahkan ekspansi global kapitalisme diikuti juga dengan meningkatnya kriminalitas dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Prinsip kerja kapitalisme yang mendorong secara optimal pencapaian maksimum akumulasi modal, produksi dan konsumsmi, serta berbagai dimensi kekuatan mekanisme pasar lainnya, telah menciptakan persaingan sedemikian rupa diantara individu-individu manusia. Individu maupun kelompok dipaksa sepenuhnya menempatkan diri sebagai homo economicus yang semata-mata digerakkan oleh rasionalitas instrumental pencapaian laba dan penghimpunan materi sebanyak-banyak dan sebesar-besarnya. Konsep homo economicus yang menjadi etos kerja individu dan menjadi pola hubungan sosial ekonomi, pada perkembangan­nya secara langsung atau tidak langsung telah memunculkan jiwa-jiwa serakah. Jiwa-jiwa serakah yang "dipelihara" oleh sistem kapitalisme itu pada akhirnya tanpa terkontrol merubah format hubungan individu (manusia) menjadi hubungan saling memeras,` baik saling memeras dengan rasionalitas saling menguntungkan ataupun memeras dalam pengertian eksploitasi terhadap individu atau kelompok oleh individu atau kelompok lain.  Prinsip-prinsip hubungan macam itu merentangkan jalan bagi tumbuh kembangnya kriminalitas dalam pelbagai aspek dan hubungan sosial manusia. Sebagian ahli kriminologi dan sosiologi kritis sudah sejak lama mencermati adanya konsekuensi tak terelakkan lahirnya kriminalitas dalam sistem kapitalisme. Richard Quienney (1977) misalnya dengan tegas menyatakan bahwa kapitalisme justru memproduksi dan memelihara sumber-sumber berbagai jenis kejahatan demi kelangsungan hidup sistem itu sendiri.                                                Ada tiga jenis kejahatan yang dinilai fungsional bagi sistem kapitalisme. Pertama, the crime of acomodation; yaitu kejahatan yang timbul sebagai respon pelaku terhadap dorongan maksimum konsumsi atau sebagai usaha mempertahankan hidup dalam sistem di mana institusi-institusi perlindungan sosial kolektif telah diperlemah demi efisiensi pertumbuhan kapitalisme. Jenis kejahatan ini meliputi predatory-crimes, yaitu jenis-jenis kejahatan kekerasan konvensional seperti perampokan, pencu­rian berat, pencurian dengan kekerasan, penipuan dll. Jenis kejahatan ini dinilai memberikan kontribusi bagi kelangsungan sistem kapitalis, yakni memelihara daya beli atau kemampuan konsumsi kelompok kriminal, yang notabene adalah kelompok sosial yang tak memiliki modal produksi. Dengan merampok, mencuri atau menipu mereka dapat terus berada dalam lingkaran logika take and gave atau hukum jual beli dalam sistem kapitalisme itu. Jenis kejahatan yang kedua, the crimes of economic domina­tion, yaitu jenis-jenis kejahatan oleh para pelaku bisnis berupa penipuan pajak, kejahatan lingkungan, eksploitasi buruh, penyim­pangan kontrak karya, penipuan informasi penjualan produk, pena­naman citra produk dan lain sebagainya. Penanaman citra produk misalnya telah melahirkan akibat ganda. Satu sisi promosi produk yang dilakukan secara gencar telah sedemikian rupa mempengaruhi persepsi dan prilaku masyara­kat tertentu mengenai nilai belanja dan nilai sesuatu barang. Belanja bukan lagi untuk memenuhi nilai guna atau nilai pakai sesuatu barang, tetapi simbol, image atau citra. Krisis ini telah menyebabkan industri yang mengandalkan bahan baku impor, baik itu hight tech industry menjadi tersendat-sendat jalannya bahkan banyak yang terhenti sama sekali. Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa hal ini disebabkan karena kekeliruan dalam memilih jenis industry yang selama ini dianggap sebagai andalan. Oleh karena itu tidaklah  keliru bila ada pendapat yang menginginkan agar industry Indonesia (seharusnya) mengandalkan produksi bahan baku dalam negeri seoptimalnya. Dengan kata lain, industri- industri yang dikembangkan hendaknya berbasis kekayaan alam yang tersedia.                                                                                                                            Indonesia, masih menyimpan sumber kekayaan alam yang melimpah yang belum dimanfaatkan secara optimum. Salah satu diantaranya adalah sumber daya perairan. Di dalam perairan tersimpan potensi yang besar untuk menghasilkan  produk hayati dan non-hayati. Sebagian dari produk hayati tersebut, seperti berbagai jenis ikan dalam arti luas, sangat diperlukan, baik untuk pasar di dalam maupun luar negeri. Itulah sebabnya Nujana (1992) menyatakan bahwa perairan dengan sumber  daya hayatinya adalah raksasa yang sedang tidur  yang bila dimanfaatkan dengan baik akan menjadi sumber daya pembangunan yang potensial dapat membantu mensejahterakan rakyat bangsa Indonesia. Namun, harus disadari bahwa sumber daya perairan lebih sulit dilihat daripada sumber daya daratan. Itulah sebabnya eksploitasi sumber kekayaan alam di darat pada umumnya telah dimanfaatkan secara optimum, sementara pemanfaatan sumberdaya perairan masih terbatas. Usaha pemanfaatan sumber daya perairan dapat melahirkan kegiatan-kegiatan yang berbasis pada ekonomi rakyat karena dapat diusahakan  dengan skala kecil dan berorientasi ekspor, mengingat permintaan di pasar Internasional sangat besar. Hanya saja diperlukan rumusan kebijakan  dan strategis yang tepat dalam perencanaan, ekspolrasi dan eksploitasi sumber daya tesebut agar dapat menjamin kelestariannya untuk generasi masa kini dan masa yang akan datang.
II Pembahasan
2.1 Konsep Pembangunan
            Istilah defelopment, kini telah menyebar sebagai sebuah visi misi, serta sebagai suatu proses yang diyakini oleh rakyat di dunia ketiga. Di Indonesia defelopment, diterjemahkan dengan kata pembangunan. Pembangunan juga merupakan suatu istilah yang dipaki dalam bermacam-macam konteks, baik dalam konotasi politik dan ideology tertentu, lebih-lebih pada zaman orde baru (masa pemerintahan Soeharto). Demikian juga pembangunan dimaknai sebagai perubahan sosial, pertumbuhan, modernisasi, serta tergantung pada konteks siapa yang menggunakannya, dan untuk siapa. Kalau pembangunan dilihat sebagai sebuah perubahan sosial maka member makna perubahan kea rah yang positif (Fakih, 2000: 11-13). Konsep “pembangunan” pada mulanya, dan pada dasarnya, diacukan pada pengertian pembangunan ekonomi. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, “pembangunan” berarti suatu proses di mana real per capita income  dari suatu negara meningkat dalam suatu masa panjang, dan dalam masa yang bersamaan jumlah penduduk yang di bawah garis kemiskinan” tidak bertambah, dan distribusi pendapatan tidak mugkin senjang (Maier, 1989 dalam Marzali, 2005: 62). Secara garis besar usaha pembangunan ini mengndung beberapa peringkat pengambilan keputusan, yaitu: penentuan tujuan pembangunan, pemelihan strategi pembangunan, dan pelaksanaan pembangunan. Dalam setiap peringkat pengambilan keputusan di atas dipercayai adanya keterlibatan faktor sosiokultural.                                                                                                    Lebih lanjut (Fakih, 2000: 101) mengartikan pembangunan sebagai suatu proses perubahan dari masyarakat tradisional agraris ke masyarakat industrial modern. Oleh karena itu, pembangunan dianggap sebagai proses perubahan tatanan hidup masyarakat yang sengaja direncanakan (Planned Sisial Change). Proses pembangunan sebenarnya merupakan suatu perubahan sosial budaya, menjadi suatu proses yang bergerak menuju ke suatu kemajuan atas kekuatan sendiri , yang tergantung kepada manuasia dan struktur sosial (Munandar, 2001:196). Dikaitkan dengan kesejahteraan sosial, pembangunan merupakan suatu proses kea rah yang lebih baik dan berkesinambungan, umumnya ditujukan pada suatu perbaikan atas peningkatan kesejahteraan melalui penanganan yang terpadu dan menyeluruh serta berwawasan lingkungan (Relawati, dalam Sugiarti, dkk, 2003: 161). Perubahan sosial memiliki dimensi jamak serta bersinggungan dengan setiap wilayah kehidupan manusia, serta berhimpitan dengan tujuan pembangunan. Perubahan sosial berbicara tentang substansi sosial budaya, sedangkan pembangunan berurusan dengan masalah-masalah material (ekonomi). Sehingga pembangunan identik dengan perkembangan (kemajuan) ekonomi (Jaffee dalam Yustika, 2002:71)                   Arif (2001: 101) memberikan arti tentang  pembangunan identik  dengan perubahan sosial. Pembangunan identik dengan perubahan sosial, jadi kajian pembangunan adalah hal  yang sama dengan kajian tentang perubahan sosial. Pembangunan  selalu bersinggungan dengan perubahan yang terjadi dari satu kondisi yang lainnya. Dengan kata lain, pembangunan diasumsikan sebagai suatu perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial-modern. Selanjutnya juga pembangunan mengandung pengertian sebagai suatu proses perubahan tatanan hidup masyarakat yang sengaja direncanakan (planned sosial change). Lebih lanjut pembangunan juga diartikan sebagai upaya yang sadar dan melembaga, sehingga pembangunan akan bermuatan nilai, dalam arti pembangunan ingin mewujudkan tipe masyarakat yang lebih baik di dalam citra bangsa  yang berbeda dari satu kultur negara lain yang dipengaruhi oleh pengalaman sejarah (Tjokrowinoto, 2001:1).
2.2  Konsep Kapitalisme
            Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus, 1996). Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978) memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi. Menurut Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah "a social system based on the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned". (Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat). Heilbroner (1991) secara dinamis menyebut kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu pada gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat. Istilah "formasi sosial" yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga dipakai oleh Jurgen Habermas. Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebut kapitalisme sebagai salah satu empat formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme, post-kapitalisme).                                                    Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang mengatur proses produksi dan pendistribusian barang dan jasa. ciri-ciri Kapitalisme, yakni: 1) Sebagian besar sarana produksi dan distribusi dimiliki oleh individu; 2) Barang dan jasa diperdagangkan di pasar bebas (free market) yang bersifat kompetitif; 3) modal kapitali (baik uang maupun kekayaan lain) diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba (profit) (dalam, http://jakaparama.blogspot.com/2009/12/pengertian-kapitalisme.html. Kapitalisme, sebagai sistem ekonomi yang disengaja, yang dikembangkan secara bertahap dari abad ke-16 di Eropa, meskipun organisasi proto-kapitalis ada di dunia kuno, dan aspek awal pedagang kapitalisme berkembang selama Abad Pertengahan Akhir.  Kapitalisme menjadi dominan di dunia Barat setelah runtuhnya feodalisme. Kapitalisme secara bertahap menyebar ke seluruh Eropa,. dan pada abad 19 dan 20, itu menyediakan sarana utama industrialisasi banyak di seluruh dunia.  Hari ini sistem kapitalis adalah bentuk dunia yang paling dominan model ekonomi (dalam, http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/2094735-pengertian-kapitalisme/#ixzz1PANH9qhE. Ada lima prinsip dasar dari kapitalisme yaitu :
1.      Kapitalisme adalah pengakuan penuh pada hak milik perorangan atau individu tanpa ada batas-batas tertentu. Hak milik pribadi adalah jaminan bagi individu bersangkutan untuk menegakkan kebebasan dan kemerdekaan. Kebebasan individu akan menjadi suatu kenyataan bila ia dibenarkan untuk mempunyai miliknya sendiri secara terjamin tanpa digugat pihak atau individu lain.
2.      Kapitalisme merupakan pengakuan akan hak individu untuk melakukan kegiatan ekonomi demi meningkatkan status sosial ekonomi.
3.      Kapitalisme mengisyaratkan pengakuan akan adanya dorongan atau motivasi ekonomi dalam bentuk semangat untuk meraih keuntungan semaksimal mungkin (profite oriented).
4.      Kapitalisme juga memuat pengakuan akan adanya kebebasan melakukan kompetisi dengan individu lain (freedom for competition).
5.      Kapitalisme mengakui berlakunya hukum ekonomi pasar bebas atau mekanisme pasar (Seda, 1996:272) .
Kelima pengakuan inilah yang kemudian menjadi manifestasi dari konsep Laissez-faire, Laissez-passer  yang merupakan inti kapitalisme maupun liberalisme. “Industri modern takkan mungkin berkembang tanpa ada pembagian kerja dan penumpukan modal yang kedua-duanya itu dilandasi oleh kepentingan diri sendiri”

2.3 Kekuatan dan Kelemahan  Kapitalisme

2.3.1 Kekuatan  Kapitalisme
Unsur-unsur apa yang dikandung kapitalisme sehingga ia saat ini tetap tangguh? Terdapat beberapa kekuatan yang memungkinkan kapitalisme masih bertahan hingga kini melalui berbagai kritikan tajam dan rintangan.  Pertama, daya adaptasi dan transformasi kapitalisme yang sangat tinggi, sehingga ia mampu menyerap dan memodifikasi setiap kritik dan rintangan untuk memperkuat eksistensinya. Sebagai contoh, bagaimana ancaman pemberontakan kaum buruh yang diramalkan Marx tidak terwujud, karena di satu sisi, kaum buruh mengalami pembekuan kesadaran kritis (reifikasi), dan di lain sisi, kelas borjuasi kapital melalui negara memberikan "kebaikan hati" kepada kaum buruh dengan konsep "welfare state". Pada gilirannya, kaum kapitalis memperoleh persetujuan (consent) untuk mendominasi masyarakat melalui apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni ekonomi, politik, budaya; atau seperti yang disebutkan Heilbroner bahwa rezim kapital memiliki kemampuan untuk memperoleh kepatuhan massa dengan memunculkan "patriotisme" ekonomik. Kedua, berkaitan dengan yang pertama, tingginya kemampuan adaptasi kapitalisme dapat dilacak kepada waktu inheren pada hakekat kapitalisme, yaitu dorongan untuk berkuasa dan perwujudan diri melalui kekayaan. Atas dasar itulah diantaranya, maka Peter Berger dalam Revolusi Kapitalis (1990) berani bertaruh bahwa masa depan ekonomi dunia berada dalam genggaman kapitalisme. Ketiga, kreativitas budaya kapitalisme dan kapasitasnya menyerap ide-ide serta toleransi terhadap berbagai pemikiran. Menurut Rand, kebebasan dan hak individu memberi ruang gerak manusia dalam berinovasi dan berkarya demi tercapainya keberlangsungan hidup dan kebahagiaan. Dengan dasar pemikiran ini, Bernard Murchland dalam Humanisme dan Kapitalisme (1992) dengan penuh keyakinan menaruh harapan bahwa kapitalisme demokratis adalah humanisme yang dapat menyelamatkan peradaban manusia di masa depan.

2.3.2 Kelemahan Kapitalisme

Mengacu kepada asumsi-asumsi dasar kapitalisme, klaim-klaim pendukung kapitalisme dan praktek kapitalisme, terdapat beberapa kelemahan mendasar kapitalisme. Pertama, pandangan epistemologinya yang positivistik mekanistik. Positivisme yang memisahkan fakta dan nilai, bahkan hanya terpaku pada apa yang disebut fenomena fakta dan mengabaikan nilai, terbukti sudah ketidakmampuannya menjelaskan perkembangan sains modern dan kritikan dari fenomenologi hermeneutik (human sciences). Pola pikir positivistik hanya satu dimensi, yaitu dialektika positif, yang pada gilirannya mereduksi kemampuan refleksi kritis manusia untuk menari makna-makna tersembunyi di balik fenomena-fenomena. Herbert Marcuse dalam One Dimensional Man (1991) berkata: "... Kapitalisme, yang didorng oleh teknologi, telah mengembang untuk mengisi semua ruang sosial kita; telah menjadi suatu semesta politis selain psikologis. Kekuasaan totalitarian ini mempertahankan hegemoninya dengan merampas fungsi kritisnya dari semua oposisi, yaitu kemampuannya berpikir negatif mengenai sistem, dan dengan memaksakan kebutuhan-kebutuhan palsu melalui iklan, kendali pasar, dan media. Maka, kebebasan itu sendiri menjadi alat dominasi, dan akal menyembunyikan sisi gelap irasionalitas...". Kedua, berkaitan dengan yang pertama, asumsi antropologis yang dianut kapitalisme adalah pandangan reduksionis satu dimensi manusia yang berasal dari rasionalisme Aufklarung. Temuan alam bawa sadar psikoanalisis menunjukkan bahwa banyak perilaku manusia tidak didorong oleh kesadaran atau rasionalitas, melainkan oleh ketidaksadaran dan irasionalitas. Asumsi kapitalisme yang mengandaikan bahwa distribusi kekayaan akan terjadi dengan sendirinya bila masyarakat telah makmur (contoh: konsep trickle down effect) melupakan aspek irasionalitas manusia yang serakah dan keji. Dorongan yang tidak pernah puas menumpukkan kapital sebagai watak khas kapitalisme merupakan bentuk patologis megalomania dan narsisisme. Ketiga, keserakahan mengakumulai kapital berakibat pada eksploitasi yang melampau batas terhadap alam dan sesama manusia, yang pada gilirannya masing-masing menimbulkan krisis ekonologis dan dehumanisasi. Habermas (1988) menyebutkan kapitalisme lanjut menimbulkan ketidakseimbangan ekologis, ketidakseimbangan antropologis (gangguan sistem personaliti), dan ketidakseimbangan internasional. Keempat, problem moral. Bernard Murchland (1992), seorang pembela gigih kapitalisme, mengakui bahwa masalah yang paling serius yang dihadapi kapitalisme demokratis adalah pengikisan basis moral. Ia lalu menoleh ke negara-negara Timur yang kaya dengan komponen moral kultural. Atas dasar problem etis inilah, maka Mangunwijaya (1998) dengan lantang berkata: "... ternyatalah, bahwa sistem liberal kapitalis, biar sudah direvisi, diadaptasi baru dan diperlunak sekalipun, dibolak-balik diargumentasi dengan fasih ilmiah seribu kepala botak, ternyata hanya dapat berfungsi dengan tumbal-tumbal sekian milyar rakyat dina lemah miskin di seluruh duia, termasuk dan teristimewa Indonesia....". Kelima, implikasi dari praktek mengkomoditikan segenap ide-ide dan kegiatan-kegiatan sosial budaya, maka terjadilah krisis makna yang pada gilirannya menimbulkan krisis motivasi. Habermas (1988) mengatakan bahwa pada tataran sistem politik, krisis motivasii ni menimbulkan krisis legitimasi, atau menurut istilah Heilbroner (1991) dengan krisis intervensi.
2.4 Konsep Ekonomi Kapitalisme
Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi baang, manjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi.                                 Dalam perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Semua orang bebas malakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara.    Munculnya negara industri yang mengusung politik ekonomi bebas (liberal) mendorong lahirnya kapitalisme modern dan lebih jauh lagi melahirkan suatu bentuk imperialisme modern. Setiap negara Eropa saling bersaing untuk mencari daerah jajahan sebagai penghasil bahan baku industri dan daerah pemasaran bagi hasil industri. Penjelajahan demi penjelajahan segera dilakukan. Beberapa negara Eropa akhirnya sampai di Dunia Timur, salah satunya di Kepulauan Nusantara atau Indonesia.                                                                                                Kedatangan orang-orang Barat ke bumi Nusantara merupakan suatu periode tersendiri dalam perjalanan sejarah Indonesia yang banyak membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan. Perkembangan kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia tidak bisa dilepaskan keberadaannya dari perkembangan sistem kapitalisme yang terjadi di Eropa. Kapitalisme merupakan suatu sistem perekonomian yang didasarkan pada hak milik alat-alat produksi, seperti tanah, pabrik, mesin, dan sumber alam yang dikuasai oleh perseorangan. Kapitalisme ini ditandai dengan adanya suatu bentuk persaingan antara yang satu dengan yang lainnya melalui penggunaan tenaga kerja upahan guna menghasilkan barang-barang dan jasa dengan modal yang sekecil-kecilnya dan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Sistem kapitalisme ini berkembang di Inggris pada abad ke-18 dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa dan Amerika. Adapun ciri-ciri sistem kapitalisme di antaranya, sebagai berikut.
a. Individual Ownership
Sistem ekonomi kapitalis yang menganut prinsip kebebasan (liberal), salah satunya ditandai dengan kepemilikan alat-alat produksi secara perseorangan, bukan oleh negara. Namun demikian, pada dasarnya prinsip ekonomi kapitalis ini dalam hal-hal tertentu masih tetap mengakui adanya peranan dan pemilikan negara, terutama dalam wujud monopoli yang bersifat alamiah dan yang menyangkut pelayanan jasa kepada masyarakat umum, seperti kantor pos, jasa, dan lain-lain. Dalam pandangan penganut prinsip ekonomi kapitalis, dominannya kepemilikan alat-alat produksi secara perseorangan didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, pemilikan atau harta yang bersifat produktif berarti penguasaan atas kehidupan orang lain. Kedua, ada anggapan dari kapitalis klasik bahwa kemajuan teknologi lebih mudah dicapai kalau orang menangani urusan atau kepentingannya sendiri. Melihat peradaban kapitalis itu, sebenarnya golongan kapitalis memiliki pandangan baru di bidang ekonomi yang dipengaruhi oleh ajaran liberalisme. Seperti telah diketahui bahwa liberalisme dibidang ekonomi akan melahirkan sistem kapitalisme. Para kapitalis ini selanjutnya menjadi golongan baru dalam masyarakat Eropa dengan sebutan middle class (golongan menengah).


b. Market Economy
Perekonomian pasar merupakan salah satu prinsip dari sistem ekonomi kapitalis. Perekonomian pasar berlandaskan pada pembagian kerja. Artinya ada kelompok produsen, pekerja, dan perantara yang menawarkan barang. Barang dan jasa tidak dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga produsen sendiri, tetapi untuk pasar. Dalam hal harga, penawaran dan permintaan ditentukan oleh hukum demand and supply (penawaran dan permintaan).Artinya apabila penawaran barang tinggi maka harga menjadi rendah, begitu sebaliknya jika permintaan tinggi maka harga cenderung tinggi.
c. Competition
Sistem ekonomi kapitalis ditandai pula dengan suatu ciri pokok lain, yaitu adanya competition (persaingan). Berbeda dengan perekonomian prakapitalis yang sama sekali tidak mengandung unsur persaingan antarprodusen, pelaksanaan ekonomi kapitalis membuka peluang persaingan yang sangat besar. Dalam sistem ini, persaingan bisa saja dalam bentuk monopoli swasta atau juga monopoli resmi dari negara. Dari kedua kasus tersebut, interaksi yang bebas antara para pembeli dan penjual diwujudkan dengan penentuan harga barang dan jasa oleh otoritas kekuasaan seperti dalam kasus monopoli negara. Hal yang juga penting diperhatikan adalah masalah mutu atau kualitas barang. Produsen yang ingin memenangkan kompetisi atau persaingan harus menciptakan suatu produk yang berkualitas tinggi pada satu sisi, dan di sisi lain harga produk tersebut harus dijual lebih rendah daripada yang lain dalam produk yang sama.
d. Profit
Sesuai dengan prinsip ekonomi liberal, dalam sistem kapitalis keuntungan merupakan salah satu ciri pokok. Perekonomian kapitalis memberikan lebih banyak kesempatan untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya daripada perekonomian lain. Sebab, dalam perekonomian kapitalis dijamin adanya tiga kebebasan, yaitu kebebasan berdagang dan menentukan pekerjaan, kebebasan hak kepemilikan, dan kebebasan mengadakan kontrak. Setiap pelaksana ekonomi kapitalis berlomba-lomba untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka menjadi produsen yang menghasilkan barang-barang kebutuhan pasar dan kemudian memasarkannya ke daerah jajahan. (dalam, http://www.syiham.co.cc/2010/02/pengertian-kapitalisme.html

2.4 Marginalisasi dan Ketidakberdayaan Masyarakat  

   Marginalisasi memiliki atau mempunyai aspek terkait pada bidang sosiologi, ekonomi dan politik. Yang dimana marginalisasi sebenarnya telah memanifestasikan dirinya dalam bentuk yang sangat familiar dimata penduduk di dunia ini, misalnya budaya, struktur keluarga hingga spectrum yang negatif pada masyarakat (Opini Power).Menurut Aditya Anupkumar (2009 : 3) “Marginalization, marginalisation (n)—the social process of becoming or being made marginal (especially as a group within the larger 20 society); “the marginalization of the underclass…….. The term  Marginalization” generally describes the overt actions or tendencies of human societies whereby those perceived as being without desirability or function are removed or excluded (i.e., are  "marginalized"…) from the prevalent systems of protection and integration, so limiting  their opportunities and means for survival. Marginalization has aspects in sociological,  economic, and political debates. Marginalization may manifest itself in forms varying  from genocide/ethnic-cleansing and other xenophobic acts/activities at one end of the  spectrum, to more basic economic and social hardships at the unitary (individual/family)  level”  “marginalisasi merupakan sebuah proses sosial untuk menjadi terpinggirkan,  tersudutkan, terjadinya kesenjangan ekonomi dan ter-intermidasinya sebuah kelompok  dalam masyarakat  ketentuan marginalisasi sesungguhnya dapat di deskripsikan  sebagai reaksi yang berlebihan atau kecenderungan dari sosial masyarakat yang menjadi  tidak berfungsi dari sistem yang lazim dari bentuk perlindungan dan pengintegrasian,yang bertujuan untuk membatasi kesempatan untuk bertahan hidup dengan baik.                                                                                                                           Marginalisasi mengandung berbagai aspek yaitu aspek sosial, ekonomi dan politik. Marginalisasi telah memanifestasikan dirinya dalam suatu bentuk atau rupa ketentuan adat/ nasib, spectrum tindakan/ memarginalkan dirinya sendiri, dan keturunan yang  bersifat individual atau keluarga” Berdasarkan pendapat diatas bahwa marginalisasi merupakan suatu proses peminggiran dan pengintermidasian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mempunyai suatu kekuatan atau kekuasaan terhadap beberapa kelompok masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan atau kekuatan. Kondisi ketidakberdayaan  masyarakat adalah merupakan penyimpangan fungsi-fungsi masyarakat atau mereka mengalami disfungsi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat mikro, terjadinya ketidakberdayaan komunitas lokal tidak cukup dianalisis dalam kerangka struktural eksternal fungsional, tetapi juga dianalisis dalam kerangka kultural internal fungsional yang menjelaskan hubungan interaksi individu dengan lingkungan komunitas lokal itu sendiri.  Sikap yang cenderung fatalistik dari sebagian masyarakat  dalam menjalani kehidupannya, merupakan kondisi yang merefleksikan lemah karsa dan kondisi ini telah menjadi budaya atau persoalan ketidakberdayaan komunitas lokal telah lebih jauh mengakibatkan budaya kemiskinan. Jika benar ini terjadi, maka menjadi sangat sulit untuk melepaskan mereka dari lingkaran kemiskinan, karena ada kecenderungan pada titik kritis tertentu mereka melakukan penyimpangan perilaku dan destruktif terhadap kemajuan lingkungan sekitarnya. Ketidakberdayaan petani  dalam beradaptasi terhadap perubahan struktural  dapat dilihat dari ciri-ciri: (1) tidak adanya alternatif untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan keluarga, karena mereka kehilangan peluang untuk akses terhadap sistem pelayanan sosial dasar (termasuk sulit akses terhadap program ‘pemberdayaan’); (2) terbatasnya produktivitas kerja dan ekonomi yang membuat mereka berada dalam keadaan subsistence level; (3) tujuan-tujuan kolektif tidak dapat lagi dibentuk dan dicapai, walaupun mereka masih dalam bentuk komunal; dan (4) semakin lama cenderung fatalistik terhadap perubahan dan kemajuan di lingkungan sekitarnya.

2.5 Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Implementasi program-program pemerintah yang mengatasnamakan pemberdayaan masyarakat pada era otonomi daerah, ternyata masih merupakan adopsi dari struktur dan mekanisme program pusat pada masa sebelum era otonomi daerah diberlakukan. Ciri-ciri pelaksanaan program meliputi jangkauan pelayanan yang terbatas, masih kuat didasarkan pada petunjuk pelaksanaan/ petunjuk teknis yang kaku, kurang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses perencanaan dan evaluasi, setiap tahapan kegiatan didominasi oleh peran petugas pemerintah, serta orientasi keberhasilan program masih terbatas pada pencapaian target fisik/ administratif. Akibatnya berbagai masalah dihadapi oleh para pengelola program, seperti macetnya pengguliran dana, penyalahgunaan kewenangan, bantuan tidak sampai sasaran, dan tidak berkembangnya usaha ekonomi produktif penerima layanan karena tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya.                                                                   Strategi penanganan kemiskinan seperti itu turut mendorong terjadinya marginalisasi penduduk miskin. Komunitas lokal di pinggiran kompleks perumahan umumnya merupakan penduduk yang sangat miskin yang tidak dapat akses terhadap program-program pemerintah, karena mereka tidak mempunyai KTP, tidak mempunyai Kartu Keluarga, dan tidak tercatat dalam sistem regristasi penduduk di lingkungannya setempat.  Dalam kondisi demikian, program-program serupa yang diprakarsasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat masih dapat menyentuh komunitas lokal, karena tidak ada persyaratan administrasi yang menghambat komunitas lokal untuk akses terhadap program pemberdayaan masyarakat. Hal yang cukup menonjol dari pelaksanaan program yang diprakarsai oleh LSM, yaitu adanya pendelegasian wewenang kepada kelompok swadaya masyarakat untuk mengelola program dan adanya pemberian kesempatan yang seluas-luasnya agar warga berperan aktif dalam setiap tahapan kegiatan pemberdayaan. Selain itu peningkatan kemampuan warga difasilitasi dengan menggunakan teknik-teknik Participatory Urban Appraisal, sehingga sumber daya lokal dapat dimanfaatkan secara optimal, termasuk pemberdayaan institusi tradisi/ lokal dan potensi sosial yang ada di lingkungan komunitas lokal itu sendiri.                                                                                    Berdasarkan pengalaman tersebut dapat dipahami bahwa implementasi dari strategi pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya bertumpu pada pendekatan partisipatif, penguatan kemampuan, pendelegasian wewenang kepada masyarakat dan aktualisasi institusi tradisi dalam mendayagunakan potensi diri dan sosial yang dimilikinya. Indikator keberhasilan dilihat dari terjadinya aktualisasi diri dan koaktualisasi eksistensi komunitas dalam menangani masalah sosial dan kemiskinan di lingkungannnya, karena hakekat masalah sosial adalah masalah yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat lokal.                                                                                       Selain itu mode of orientation dari aktor pembangunan yang berada dalam posisi pengambil keputusan pada tingkat makro cenderung masih diwarnai oleh kepentingan ekonomi dan politik daripada kepentingan sosial budaya. Hal ini dapat dilihat dari implikasi perubahan struktural kota yang meliputi perubahan tata ruang, sosial ekonomi dan administrasi serta pengelolaan pembangunan yang cenderung mengabaikan keberadaan komunitas lokal. Dalam keadaan sistem masyarakat yang lebih besar mengabaikan potensi yang tersedia di dalam komunitas, sama juga dengan membuat keseimbangan sistem sosial tersebut menjadi terganggu atau tidak membuat sistem sosial tersebut menjadi stabil. Hubungan kontingensi antara sistem makro, meso dan mikro bukan hanya bersifat dinamis tetapi juga mengarah kepada ketidakseimbangan antara elemen sistem yang menggerakkan sub-sub sistem tersebut menjadi semakin jauh dari keadaan semula. Ketidakberdayaan pada komunitas lokal dalam beradaptasi dengan perubahan struktural kota merefleksikan perubahan sosial yang terjadi pada komunitas lokal menuju keadaan yang sangat berbeda dengan kondisi awal. Ketidakberdayaan komunitas lokal merefleksikan mereka mengalami disfungsi sosial dan dapat berakibat terjadi disintegrasi sosial dari lingkungan sosial sekitarnya.                                                                                               Dalam perkembangan wilayah yang begitu pesat, kerelaan komunitas lokal untuk 7 melepas aset yang dimiliki kepada para pengambil keputusan di lingkungan pemerintah daerah dan pihak pengembangan perumahan (developer) tidak dapat dikategorikan sebagai complimentary sub sistem komunitas lokal yang saling menguntungkan, karena semakin lama terjadi disparitas nilai ekonomi dari ‘sumbangan’ komunitas lokal terhadap pembangunan dengan nilai ekonomi yang diraih oleh pihak pengembang. Di lain pihak, elit penguasa lokal cenderung berafiliasi dengan pihak pengusaha untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan politik. Respon yang ditunjukkan komunitas lokal semakin lama tidak menjadi bagian dari complimentary sub sistem lain, melainkan menjadi bagian dari suatu sistem yang terpinggirkan dari sistem sosial kota yang berkembang dinamis. Kepatuhan komunitas lokal terhadap putusan penguasa pada awal perkembangan kota, menjadi semakin jauh dari harapan semula, karena mereka semakin lama semakin berkurang aset kepemilikannya, semakin sulit akses terhadap pelayanan sosial dasar dan akhirnya keberadaan mereka tidak diakui oleh lingkungan sekitar. Jika pada akhirnya ada pribadi-pribadi yang mengalami disintegrasi dari lingkungan sosial dengan melakukan perilaku menyimpang atau melakukan tindak kriminal, hal ini selain akibat dari tekanan eksternal yang sangat kuat, juga akibat daya tahan sosial mereka pada titik yang paling rendah. Dalam ketidakberdayaan, mereka juga akhirnya bisa mengambil keputusan untuk semakin menyimpang dari norma-norma sosial yang berlaku dalam lingkungan komunitasnya. Selama mempertahankan kelangsungan hidupnya yang semakin sulit, motivasi dalam menjalani kehidupan yang semula masih positif berubah menjadi motivasi negatif.
            Dengan demikian hubungan antara makro dan mikro terletak pada hubungan kontingensi antara mode of orientation aktor pembangunan pada tingkat makro dengan pilihan strategi pemberdayaan masyarakat pada tingkat meso serta tindakan sosial pada proses pemberdayaan masyarakat pada tingkat mikro (lihat gambar 2). Elemen-elemen sistem dan kekuatan ekonomi, politik dan sosial budaya pada tingkat makro menjadi faktor penentu keputusan strategis institusi sosial dalam pemberdayaan komunitas secara transformatif. Elemen sistem dan kekuatan ekonomi yang cenderung mempengaruhi secara positif terhadap sistem meso yaitu orientasi pemberdayaan non ekonomi secara proporsional dengan pemberdayaan ekonomi dan perlindungan pada hak kepemilikan komunitas. Elemen sistem dan kekuasaan politik yang cenderung mempengaruhi secara positif terhadap sistem meso memiliki dimensi-dimensi desentralistik, perencanaan dari bawah, dan kepentingan yang bertumpu pada kesejahteraan masyarakat. Elemen sistem dan kemampuan sosial budaya yang cenderung mempengaruhi secara positif terhadap sistem meso memiliki dimensi-dimensi orientasi masalah sosial sebagai tantangan, pendayagunaan kekuatan/ potensi, orientasi pada masa depan, dan jalinan mitra kolaboratif dengan berbagai pihak. Elemen makro berinteraksi dengan pilihan strategi pemberdayaan pada masyarakat secara transformatif di tingkat meso untuk mencapai keberdayaan komunitas yang dapat dilihat dari aktualisasi diri dan koaktualisasi eksistensi komunitas. Kedua hal tersebut merefleksikan hubungan antara potensi diri, potensi sosial, kategori strategi, dan aktualisasi diri, serta koaktualisasi eksistensi komunitas.             

III. Penutup
Marginalisasi memiliki atau mempunyai aspek terkait pada bidang sosiologi, ekonomi dan politik. Yang dimana marginalisasi sebenarnya telah memanifestasikan dirinya dalam bentuk yang sangat familiar dimata penduduk di dunia ini, misalnya budaya, struktur keluarga hingga spectrum yang negatif pada masyarakat (Opini Power). Marginalisasi mengandung berbagai aspek yaitu aspek sosial, ekonomi dan politik. Marginalisasi telah memanifestasikan dirinya dalam suatu bentuk atau rupa ketentuan adat/ nasib, spectrum tindakan/ memarginalkan dirinya sendiri, dan keturunan yang  bersifat individual atau keluarga” Berdasarkan pendapat diatas bahwa marginalisasi merupakan suatu proses peminggirandan pengintermidasian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mempunyai suatu kekuatan atau kekuasaan terhadap beberapa kelompok masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan atau kekuatan.




DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Karangasem Dalam Angka. Badan Pusat Statistik (BPS), Bapeda Kabupaten Karangasem.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem, 2008. Produk Domestik Regional Bruto Kecamatan se Kabupaten Karangasem
Bagus, L., 1996. Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia
Berger, P., 1990. Revolusi Kapitalis, (terjemahan). Jakarta:  LP3ES
Daryanto, Arief dan Yundy Hafizrianda. 2010. Model-model Kuantitatif untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah: Konsep dan Aplikasi. Bogor: Penerbit IPB Press.
Ebenstein, W., 1990. Isme-Isme Dewasa Ini, (terjemahan) Jakarta:  Erlangga
Gama, Ayu Savitri. 2009. Disparitas dan Konvergensi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Antar Kabupaten/ Kota Di Provinsi Bali.(dalam Jurnal Ekonomi dan Sosial |INPUT| Volume 2 Nomor 1 Februari 2009 hlm. 38-48)
Habermas, J., Letigimation Crisis, Polity Press, Cambridge Oxford, 1988.
Hayek, F.A., The Prinsiples of A Liberal Social Order, dalam Anthony de Crespigny and Jeremy Cronin, Ideologies of Politics, Oxford University Press, London, 1978.
Heilbroner, R.L., 1991. Hakikat dan Logika Kapitalisme, (terjemahan), Jakarta: LP3ES
Kuncoro, Mudrajad. 2000. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan.Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Mangunwijaya, Y.B., Mencari Landasan Sendiri, Esei Pada Harian Kompas 1 September 1998, Jakarta.
Marzali, Amri. 2005. Antropologi & Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana
Mubyarto.1999. Reformasi Sistem ekonomoi, dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta:  Aditya Media Medina
Murchland, B., 1992. Humanisme dan Kapitalisme, (terjemahan). Yogyakarta: Tiara Wacana
Mulyani, dkk. 2007. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Nurdjana, M.L. 1992. Perikanan: Raksasa yang sedang Tidur. Disajikan pada seminar dalam peringatan seperempat abad, Jurusan Perikanan Universitas Deponegoro, semarang
Rand, A., Capitalism: The Unknown Ideal, A Signet Book, New York, 1970.
Sumber Internet


Tidak ada komentar:

Posting Komentar