Jumat, 15 April 2011

TRADISI LISAN ETNIK MUNA


TRADISI LISAN RITUAL KATOBA  (TLRK) SEBAGAI PRODUK DAN PRAKTEK BUDAYA ISLAM YANG MENCERMINKAN SEPERANGKAT NORMA  DAN NILAI SOSIAL - BUDAYA BAGI MASYARAKAT ETNIK MUNA

HARDIN*
MAHASISWA PROGRAM STUDI MAGISTER (S2)
KAJIAN BUDAYA-KTL  
UNIVERSITAS UDAYANA

I.       Pendahuluan
Indonesia sangat kaya dengan tradisi lisan yang kesemuanya lahir dalam bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya mencapai ratusan bahkan ribuan. Baru sebagian kecil dari tradisi lisan dimaksud yang dapat diselamatkan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rosidi (1994: 125) dan Rusyana (1996: 1), yaitu penelitian tentang tradisi lisan, terutama tentang sastra lisan yang telah dilakukan di Indonesia pada umumnya berupa pengumpulan melalui perekaman, transkripsi, dan penerjemahan dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia masih sangat sedikit jumlahnya Kerja keras dari semua pihak sangat diperlukan untuk penyelamatan tradisi-tradisi lisan tersebut.
Tradisi lisan merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang jumlahnya sangat banyak di seluruh Indonesia. Terbukti banyak persamaan dan kesejajaran diantaranya, tetapi juga kelihatan adanya perbedaan-perbedaan yang memperlihatkan ciri dari masing-masing kebudayaan setiap daerah. Bahasa-bahasa daerah yang menjadi media pengungkapan tradisi lisan itu, juga merupakan bahagian dari kebudayaan daerah tradisional, bahasa daerah yang paling tepat dapat mengekspresikan isi kebudayaan daerah yang bersangkutan. Fungsi bahasa daerah sebagai pemarkah kedirian manusia sebagai mahluk individu, mahluk sosial, dan mahluk berbudaya dapat ditelusuri dari berbagai fenomena kebahasaan yang digunakan oleh suatu kelompok masyarakat baik dalam konteks sosial maupun dalam koteks budaya, seperti TRLK  pada masyarakat etnik  Muna di Sulawesi Tenggara.
Konsep tentang penggunaan bahasa dalam konteks budaya mengisyaratkan bahwa secara fungsional, terdapat hubungan yang begitu erat antara bahasa dan kebudayaan yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Akan tetapi, jika dicermati secara seksama, hubungan antara bahasa dan kebudayaan itu bukan bersifat kausal linier, melainkan bersifat simbiosis dan resiprokal atau saling membentuk.  Sebab banyak fakta menunjukkan bahwa bahasa dibentuk oleh kebudayaan dan kebudayaan diberi makna melalui bahasa. Oleh karena itu, masalah keberadaan bahasa dalam kebudayaan dan kebudayaan dalam bahasa harus menjadi piranti konseptual utama untuk menganalisis hubungan fungsional antara bahasa dan kebudayaan yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat.
Hubungan fungsional antara bahasa dan kebudayaan, menurut Bagus  (2001: 1), dapat ditelaah dari tiga perspektif, yaitu  bahasa sebagai unsur budaya, bahasa sebagai indeks budaya, dan bahasa sebagai simbol budaya. Penggunaan bahasa sebagai unsur budaya tercermin dalam perilaku verbal dan non-verbal dalam upacara ritual, cerita rakyat, nyanyian, doa, dan sebagainya. Bahasa sebagai indeks budaya berkaitan dengan penggunaan bahasa untuk mengungkapkan pikiran dan menata pengalaman para penuturnya. Pengguanaan bahasa sebagai simbol budaya mengacu pada fungsi bahasa sebagai pemarkah identitas etnik dan fitur pembeda etnik bersangkutan dengan etnik yang lain (Bright: 1992: 177).
Sebagaimana halnya dengan bahasa lain, bahasa Muna yang digunakan etnik Muna di Sulawesi Tenggara, selain berfungsi sebagai wahana komunikasi dan interaksi sosial di antara para penuturnya di dalam ranah keluarga dan masyarakat, juga merupakan unsur budaya, indeks budaya, dan simbol budaya Muna. Keberfungsian bahasa Muna sebagai piranti sosial-budaya bagi etnik Muna dapat dikaji dari segi bentuk, fungsi, dan makna ragam bahasa yang mereka gunakan dalam berbagai ritual sebagai warisan dari leluhur mereka. Ritual  atau ragam bahasa yang digunakan dalam konteks TRLK itu merupakan produk dan praktek budaya yang mencerminkan seperangkat norma dan nilai sosial-budaya Islam yang dianut oleh etnik Muna sebagai guyub tutur dan guyub budaya, dan yang membedakan mereka dengan kelompok etnik lain.       
Mencermati kesenjangan kultural termasuk kesenjangan lingual yang melanda setiap etnik, maka ritual-ritual yang ada pada setiap etnik perlu direvitalisasi. Yang dimaksud dengan revitalisasi adalah suatu upaya sadar dan terorganisasi yang dilakukan oleh suatu warga masyarakat untuk membangun budaya yang lebih memuaskan (Wallace dalam Kaplan dan Manners, 1999: 191). Tujuan gerakan revitalisasi itu adalah agar fungsi dan makna TRLK sebagai pedoman dan ajaran hidup bagi etnik Muna, tetap awet dan selalu hadir secara kontekstual dalam realitas kehidupan sosial-budaya etnik Muna baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang. Salah satu ancangan mikro yang dapat dilakukan guna menunjang keberhasilan gerakan revitalisasi itu adalah mengkaji secara khusus dan mendalam tentang bentuk, fungsi, dan makna TRLK. Kajian ini bertujuan untuk merekonstruksi pemahaman etnik Muna tentang hakikat dan substansi TRLK  sesuai hakikat yang sebenarnya sebagai basis budaya yang berisi pedoman dan ajaran hidup yang dilatari ajaran Islam bagi mereka. Dengan melalui upaya itu diharapkan agar etnik Muna yang sudah mulai digerogoti oleh krisis atau dekadensi moral dapat kembali pada dunia kedalaman spiritual, kehalusan nurani, dan ketajaman hati.

II. BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA TRLK  PADA MASYARAKAT
 ETNIK  MUNA    
2.1 Bentuk
Bentuk adalah rupa indah yang dapat menimbulkan kenikmatan artistik  melalui cerapan penglihatan, dan pendengaran. Keindahan bentuk dicapai karena adanya keseimbangan struktur artistik, keselarasan, dan relevansi. Bentuk TRLK sebagai produk dan praktek budaya etnik Muna mempunyai rangkaian kejadian demi kejadian sehinngga dalam penuturannya selalu diawali dengan doa dan diakhiri dengan doa sesuai dengan ajaran Islam yang menjadi kepercayaan etnik Muna. Hal ini sejalan dengan pendapat Mangunwijaya (1988: 17) mengatakan bahwa religius adalah ketaatan pada sesuatu yang dihayati, keramat, suci, kudus, dan adi kodrati.   Dalam pembahasan bentuk dapat dilihat dari suasana hati.


2.1.1 Suasana Hati Naratif
            Menurut tradisi etnik Muna pelaksanaan TRLK merupakan sarana yang baik untuk memperkenalkan ajaran moral kepada anak-anak sejak usia dini, setiap orang tua yang mempunyai anak usia 7-10 tahun diwajibkan menyelenggarakan TRLK. Pada usia tersebut, anak-anak dianggap sudah mampu membedakan mana yang baik dan mana buruk, siapa yang harus dihormati dan siapa pula yang harus disayangi dan dipelihara. Oleh karena Itu, au nasihat-nasihat.    
            Suasana hati merupakan bagian yang samelalui TRLK tersebut sang anak mulai diperkenalkan ajaran moral dalam bentuk petuah atngat penting dalam TRLK karena dapat menjelaskan pendapat, sikap dan keadaan penutur tentang isi TRLK  dan sudut pandang penutur sebagai penutur dan sebagai tokoh agama dalam peristiwa TRLK pada guyub tutur masyarakat etnik Muna. Suasana hati biasanya untuk menegaskan kurang atau lebih suatu hal yang dituturkan dan untuk mengungkapkan isi tuturan yang disampaikan mengenai hakikat kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Pembahasan suasana hati dalam penelitian ini meliputi suasana hati tuturan.

2.1.2  Suasana Hati Tuturan
            Suasana hati TRLK hanya satu tahap dalam  pengungkapannya yang dilakukan oleh penutur yang paling dominan adalah instruksi atau perintah. Perintah tersebut ditujukkan kepada anak-anak yang akan ditoba agar berbuat sesuai dengan norma-norma yang telah ditunjukkan oleh kedua orang tua mereka. Penutur atau tokoh agama dengan tegas menginformasikan kepada anak-anak yang akan ditoba bahwa dalam kehidupan bermasyarakat harus selalu memperhatikan norma-norma agama dan norma-norma adat. Hal ini dapat dilihat pada kutipan TRLK berikut ini.

            Dosahada be debasa doa
            ‘mengucapkan dua kalimat syahadat dan membaca doa’
            Oe mosahano be pata mosahano sonimongkilogho
            ‘air yang sah untuk bersuci dan air yang tidak sah untuk bersuci’
            Amando dotehie felo kabolosino Allah Taala
             ‘Orang tua laki-laki harus ditakuti, dianggap sebagai pengganti Allah SWT’
            Inando dotehie felo kabolosino nabi Muhamadi     
            ‘Ibu kandung ditakuti, anggap sebagai pengganti nabi Muhamad’
            Isando dotehie felo kabolosino malaekati
            ‘kakak kandung ditakuti, anggap sebagai pengganti malaikat’
            Aindo doasiane, dopiarae felo kabolosino muumini
            ‘adik kandung disayangi, dipelihara anggap sebagai pengganti kaum mukmin’
            Mina nateworaa ofeili taaka notewora
            ‘tidak kelihatan sifat, tapi kelihatan’ 

            Tuturan tersebut dalam proses penuturannya dilakukan dengan suara lantang tetapi lambat oleh tokoh agama atau imam. Imam/tokoh agama menuturkan nasehat di atas satu per satu sampai selesai, selanjutnya diucapkan kembali oleh anak yang ditoba atau anak yang diislamkan. Suasana hati aman dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni antara imam sebagai penuntun dan anak yang ditoba atau yang disunat sebagai tertuntun dan disaksikan oleh kedua orang tua kandungnya serta kerabat keluarga yang hadir pada saat TRLK dilaksanakan.
Tuturan tersebut merupakan nasehat-nasehat yang selalu menjadi tuntunan  bersikap dan bertindak dalam keseharian mereka, sebagai anggota dari guyub tutur dan guyub budaya setempat. Tokoh agama menegaskan kepada anak yang ditoba untuk tetap memegang dan melaksanakan nasehat-nasehat tersebut untuk menangkal setiap budaya yang bertentangan dengan budaya mereka sendiri. Bentuk TRLK mempunyai kandungan moral yang dilatari ajaran Islam sebagai kepercayaan yang dianut etnik Muna  harus selalu dimulai dan diakhiri dengan doa dalam  proses penuturannya oleh karena sesuai dengan tuntunan dalam budaya Muna, bahwa memulai segala kegiatan harus diawali dan diakhiri dengan doa agar tujuan dari proses acara katoba  mendapat berkah dari Allah SWT dengan harapan anak-anak yang menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa (Hamka, 1982: 26).

2.2 Fungsi Tuturan Katoba
            Fungsi adalah kegunaan suatu hal bagi kehidupan suatu masyarakat. Fungsi berbicara tentang kaitan antara institusi-institusi yang memberikan keutuhan dari suatu masyarakat dalam kehidupan sebagai suatu komunitas yang memiliki hak dan kewajiban (Brown dalam Kaplan dan Manners, 1999: 77).
            Analisis fungsi TRLK adalah upaya penafsiran terhadap penggunaan bahasa yang berterima, sehingga teks menjadi struktur yang komunikatif. Analisis fungsi diupayakan tidak hanya menafsirkan bahasa yang menjadi medianya, tetapi sampai pada gejala-gejala yang transendental. TRLK sebagai sebuah guyub tutur budaya masyarakat etnik Muna yang diilhami oleh ajaran Islam menggunakan bahasa Muna dalam penuturannya sebagai alat komunikasi sehari-hari yang secara efektif menyampaikan nilai-nilai yang membentuk perilaku masyarakat pendukungnya.
            Fungsi TRLK dikaji berdasarkan informasi yang diberikan oleh informan, selanjutnya dikaitkan dengan teks dan konteksnya. Adapun fungsi-fungsi yang ditemukan dalam TRLK,  yaitu: (1) fungsi didaktis, dan (2) fungsi religius.

2.2.1 Fungsi Didaktis
            Kaplan dan Manners (1999: 76) mengungkapkan bahwa fungsi harus mengeksplorasi ciri sistemik budaya. Artinya, kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat. Dengan kata lain, perkaitan antara institusi-institusi memberikan keutuhan dari suatu masyarakat dalam kehidupan sebagai suatu komunitas yang memiliki hak dan kewajiban. Selanjutnya, Radicliffe-Brown (dalam Kaplan dan Manners, 1999:77) menganggap bahwa fungsi dari unsur-unsur kebudayaan dipergunakan untuk memelihara keutuhan dan sistemik struktur sosial.
            Fungsi didaktis yang ditemukan dalam TRLK adalah sebagai berikut:
            Amando dotehie felo kabolosino Allah Taala
            ‘Bapak kandung ditakuti, anggap sebagai pengganti Allah SWT’
            Inando dotehie felo kabolosino nabi Muhamadi
            ‘Ibu kandung ditakuti, anggap sebagai pengganti nabi Muhammad’
            Isando dotehie felo kabolosino Malaekati
            ‘Kakak kandung ditakuti, anggap pengganti malaikat’ 
            Aindo doasiane, dopiarae felo kabolosino muumini
            ‘Adik kandung disayangi, dipelihara, anggap sebagai pengganti kaum mukmin’

            Fungsi didaktis yang pertama terdapat pada tuturan di atas, yaitu pada tuturan amando dotehie ‘bapak kandung ditakuti’. Kata ini mengajarkan kepada anak untuk menghargai kedudukan orang tua laki-laki atau ayah kandung sebagai penguasa tertinggi dalam rumah tangga. Oleh karena itu, sebagai seorang anak sepantasnya takut kepada setiap larangannya, patuh dan tunduk terhadap segala perintahnya, dan wajib menghormatinya. Kebiasaan patuh dan taat pada kedua orang tua dalam lingkungan keluarga selanjutnya wajib bagi sang anak untuk dipraktekan dalam kehidupan bermasyarakat, bukan saja bapak kandung yang harus ditakuti atau dihormati, tetapi berlaku bagi semua laki-laki yang telah berstatus sebagai orang tua.   Hal ini dapat dilihat pada potongan tuturan berikut ini:
            Taaka nimotehi maitu suano kaawu amando koanaghanda
            Mahingga amando segahaano dokamokula kaawu itu dokonaemokamokula
            Dopototo itu be amando
  
            Terjemahannya:
            Tetapi yang ditakuti itu bukan saja bapak kandung, biar juga laki-laki yang lain asal sudah tua itulah orang tua, yang sama kedudukannya dengan bapak kandung kita  sendiri.

Fungsi didaktis kedua dalam TRLK  terdapat pada tuturan inando dotehie ‘ibu kandung ditakuti’. Kata ini mengajarkan kepada anak untuk menghargai, patuh dan tunduk kepada setiap perintah ibunya yang mengarahkan sang anak kepada hal-hal yang baik. Dalam TRLK tokoh agama atau imam menasehatkan kepada anak bahwa ibu kandung itu statusnya sama dengan nabi Muhammad. Kita sebagai umat Nabi Muhammad, hendak mencari wujudnya di dunia ini tidak mungkin akan ditemukan. Ibu kandunglah sebagai penggantinya.
 Kepatuhan menjalankan segala perintah ibu kandung itu sebagai pertanda kepatuhan dalam menjalankan petunjuk dan perintah Nabi Muhammad. Sebagaimana hidup dalam lingkungan keluarga, dalam kehidupan lingkungan masyarakat pun kedudukan para ibu yang lain harus disamakan statusnya dengan ibu kandung kita sendiri. Mereka juga wajib dipatuhi perintahnya, disegani, dihormati, dan dihargai sebagaimana yang diperlakukan kepada ibu kandung sendiri. Pernyataan tersebut didukung oleh tuturan beriku ini:
Pedamo dua inando. Suano kaawu inando koanaghanda. Dokonaekaawu kamokula inandomo dua itu. Dopototomo itu kabolosino nabi Muhamadi rampano nopototomo be kamokula koanaghanda 
 
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       
            Terjemahan:
            Seperti juga ibu kandung. Bukan saja ibu yang melahirkan kita. Asal sudah berstatus orang tua sudah ibu kita juga itu. Sama itu seperti pengganti Nabi Muhammad, karena sama saja dengan orang tua yang melahirkan kita.

            Dalam kedudukannya sebagai mahluk Allah di muka bumi, manusia selalu dituntut untuk menegakkan budi pekerti, sopan santun, dan ahlak mulia dalam dunia ini. Dijelaskan dalam surat Al-Ahqaaf (Q.S: 15) yang artinya: “Dan kami wasiatkan kepada manusia supaya kepada kedua Ibu-Bapaknya hendaklah ia  berbuat baik”. Ayat tersebut ditafsirkan oleh Hamka (1982: 24) bahwa sifat manusia di atas merupakan perintah utama kedua setelah kepada Allah sebagai modal dasar dalam kehidupan. Disini terkandung pengertian bahwa kalau manusia hendak menegakkan budi pekerti yang baik dalam dunia ini setelah berbakti kepada Allah adalah berbakti dan menghormati kedua orang tuannya, ayah-ibunda atau ibu-bapak. 
Fungsi didaktis ketiga dalam TRLK  terdapat pada tuturan berikut: isando dotehie ‘kakak kandung ditakuti’. Tuturan ini mengajarkan untuk mematuhi segala perintahnya, hormat, dan taat dalam menjalankan kebaikan yang disampaikannya. Dalam lingkungan masyarakat Muna, pemahaman terhadap kakak tidak harus kakak kandung sendiri. Siapa saja yang lebih tua umurnya dari kita, itulah yang disebut kakak. Mereka itu dianggap sebagai malaikat yang selalu menyampaikan kebaikan. Oleh karena itu, wajib dipatuhi segala perintahnya, serta menghormatinya sebagaimana menghormati kakak kandung sendiri. Pernyataan ini didukung oleh tuturan berikut ini:
            Pedamo dua opoisaha.
 Tabea opoisaha kakutano ghule gara maka opoisaha.
 Opoisaha kaawu itu sano foliu dadi opoisahamo itu.

             Terjemahan:
            Begitu pula yang disebut kakak. Apakah harus kakak yang berasal dari satu kandungan baru layak disebut kakak? Yang namanya kakak itu asal melebihi usia kita sudah itulah yang disebut kakak. 

Fungsi didaktis keempat dalam TRLK  terdapat pada tuturan berikut: aindo doasiane, dopiarae ‘adik kandung disayangi dan dipelihara’.  Tuturan ini mengajarkan agar antara seorang kakak dan seorang adik dapat hidup saling menyayangi, saling menghormati, saling mematuhi, dan saling menghargai. Yang adil itu sama statusnya dengan kaum mukmin. Menghargai yang adik berarti telah memberi kasih sayang dan memelihara harga diri kaum mukmin. Seorang kakak harus mampu memberikan suri teladan yang baik kepada mereka. Seorang adik tentu akan menginsafi dirinya apabila dihadapan kakaknya diperlakukan sebagai adik yang baik. Hal ini sebagaimana dinasehatkan melalui tuturan berikut:

Pedamo dua aindo. Opoaiha kaawu doasianemo dopiaraemo. Soano kaawu pokakutamu ghulea nagha… mina. Soo dadi hintuumu, soo feisa hintuumu be andoa aitumu nikonando poaiha. Ghondo-ghondoe omuumini itu opoaiha neano. Doasiane maitu. Sadopandehaane aindo miinamo daokado dofopisaki. Samiina damandehaane itu mahingga lahae pada otehikoa.

Terjemahan :
Begitu juga adik. Yang namanya adik itu harus disayangi, dan dipelihara. Bukan hanya adik kandung itu… tidak. Asal lebih tua kalian atau lebih dahulu kalian lahir dengan mereka itulah adik. Lihat-lihat, mukmin itu dianggap adik namanya. Itu harus disayangi. Setelah diketahui sebagai adik jangan dipandang enteng, apalagi tidak diketahui  jangan ditakut-taktui.

Sebagai hamba, manusia wajib menjalankan perintah dan percaya kepada Allah sebagai landasan utama dalam kehidupannya, dengan selalu berbuat baik kepada kakaknya. Sebagaimana yang ditegaskan Hamka (1988: 25) bahwa pada prinsipnya setiap manusia harus mampu menjalankan setiap perintah Allah dalam kehidupan sehari-hari.
  
2.2.2 Fungsi Religius

Mangunwijaya (1988: 17) mengatakan bahwa religius adalah ketaatan pada sesuatu yang dihayati, keramat, suci, kudus, dan adi kodrati. TRLK  sebagai salah satu bentuk ritual masyarakat Muna yang diilhami ajaran Islam memiliki fungsi religius disamping fungsi-fungsi lainnya.
Dalam tradisi atau budaya etnik Muna, TRLK merupakan pintu awal bagi seorang anak memasuki dunia dewasa. Di Muna baik anak laki-laki maupun anak perempuan belum diwajibkan melaksanakan ibadah sholat sebelum dikangkilo. Anak-anak yang belum ditoba dianggap belum dewasa dan belum suci secara lahiriah maupun secara batiniah. Setelah ditoba, mereka diwajibkan berbuat dan mempraktekkan hal-hal yang baik di dalam lingkungan keluarga, masyarakat termasuk melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah atau umat Nabi Muhammad yaitu melaksanakan perintah ibadah sholat untuk kepentingan di dunia maupun untuk kepentingan di akhirat kelak.
Melalui TRLK, anak-anak dinasehati agar mengetahui perbuatan apa yang disenangi dan yang tidak disenangi oleh Allah SWT, Nabi Muhammad, orang tua, kakak, sesama umur, maupun dibawah umur kita. Perbuatan baik harus dilaksanakan, perbuatan jahat harus ditinggalkan, yang tua dihormati, yang sesama  dihargai, dan yang adik disayangi serta dipelihara.
Pendidikan religius khususnya pendidikan agama Islam dalam TRLK tidak sama dengan yang diajarkan dalam lembaga pendidikan formal seperti belajar mengetahui isi ajaran Islam seperti tentang tata cara sholat, memahami rukun Islam, rukun sholat, tetapi yang diajarkan dalam katoba adalah bagaimana seseorang memahami persyaratan dirinya agar sah menjadi Islam.  
Adapun fungsi religius yang ada dalam tuturan katoba sebagai berikut:
Dosahada be debasa doa
‘mengucapkan dua kalimat syahadat dan membaca doa’
Oe mosahano be pata mosahano
‘hal air suci/air yang sah dan air yang tidak suci/tidak sah’
Saratino toba
‘syarat tobat’ 

             Fungsi religius pertama yang ada dalam TRLK adalah pengikraran sumpah yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat dalam lafaz bahasa Arab dan lafaz bahasa Muna, berturut-turut sebanyak tiga kali.
 Lafaz dalam bahasa Arab sebagai berikut:
            Asyahadu an lailaha ilallah wa asyhadu ana Muhammad rasulullah’ 3x
Lafaz dalam bahasa Muna sebagai berikut:
            ‘Aini dasumakusiimo. Miina be ompu nisomba sokati Allah Taala. Maka dasumakusiimo tora. Anabi Muhammadi katuduno Allah Taala’ 3x

Artinya: Saya bersaksi tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah SWT. Dan saya bersaksi pula bahwa Nabi Muhhammad itu utusan Allah SWT.

            Setelah membaca dua kalimat syahadat dilanjutkan kembali dengan nasehat-nasehat seperti yang telah diuraikan pada sub-bagian fungsi didaktis. Setelah selesai pemberian nasehat dilanjutkan dengan pembacaan doa dengan lafaz dalam bahasa
Arab seperti tertera dibawah ini:
Auzubillahi minasyaitoanirrajim
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirrabilaalamiyn
Arrahmanirrahim
Malikiyaumiddiyn
Iyakana’budu waiyakanasta’iyn
Ihdinasshiratal mustaqim
Shiratallazinyna an’amta’alaiyhim
Ghairil maghdhubi alaiyhim
Walaadhooliyn
Astaghfirullahul azim 3x
Astaghfirullahul azim lazi
Laa ilaha ilahul kayum
Waatubu illaihi
Minkulizanbi aza naftahu amadan auhatan an asyaran alaa niatan au syaghiratan au kabiratan innaka anta ghinub syatarul ghuyub kasyaful ghulub waatubuillaika. Mina zunubillazi la a’lam waanta alamul ghuyub wala haula wala quwata illabillahi aziul azim birrahmatika ya arrahmarrahim. Washallahu ala syaidina Muhammadin waali washabihi wassalam walhamdulillaahi rrabil a ‘lamiyn.  

            Dalam pandangan budaya etnik Muna versi TRLK,  tampaknya ada sahadha khusus untuk anak perempuan yang dipakai untuk melubangi telinganya. Adapun lafaznya sebagai berikut:

            Astaghfirullahul azim 3x
            Asyhadu anta Faatima
            Asyughuri binti asyaidatin
            Syaiaoma qiyyamati rasulullah
            Wa asyhadu anna Mohammadi rasulullah

            Sahadha tersebut bukanlah sahadha sebagai tanda pengakuan akan adanya Allah SWT dan Nabi Muhammad sebagai rasulnya, seperti yang diikrarkan dalam dua kalimat syahadat, akan tetapi sahadha atau doa itu digunakan untuk melubangi telinga bagi anak-anak perempuan.
            Fungsi religius kedua yang ada dalam TLRK adalah yang berhubungan dengan air yang digunakan untuk bersuci. Yang dimaksud dengan air suci disini bukanlah air untuk kebutuhan mengambil air wudhu, tetapi air yang digunakan untuk membersihkan badan baik dari kotoran besar (hadast besar) maupun kotoran kecil (hadast kecil).

            Jenis air yang dimaksud dapat dilihat melalui tuturan berikut ini:
‘Pada anagha doforatoandamo oe sumahano sonimongkilogho be oe pata sumahano nimongkilogho. Oeno akuluti pata sumahano. Sumahano oeno laa, oeno tehi, oeno ghuse, oe balano. Oe pata sumahano oeno laa pata matano seue, sekonisi, taweghaghehi maitu, mina naembali tadongkiloghoomo do tambue beano. Pedamo dua oe tumuampeno ne roo sau maitu dokonae oe akulukuti tawa ne roo kuni bahi ne kaeo. Patudhumu minaho naongkiloa gara nowolomo. Anaghae pata kasahahano’

Terjemahan:
Setelah itu diberitahukan tentang air yang sah untuk bersuci dan air yang tidak sah untuk bersuci. Air yang tidak sah untuk bersuci disebut air Akulukuti. Air yang sah adalah air kali, air laut, air hujan, dan air besar. Air yang tidak sah adalah air kali yang ukurannya tidak cukup satu urat, satu kuku, air yang hanya sampai ditelapak kaki, tidak boleh dipakai karena tidak dapat ditimba. Seperti juga air yang tertinggal di dedaunan itu disebut juga air akulukuti seperti di daun kunyit, atau di daun lain. Air itu semua tidak boleh dipakai untuk bersuci karena belum bersih air tersebut sudah habis. Itulah sebabnya hingga dikatakan tidak sah.    

Tuturan di atas menjelaskan bahwa jenis air yang digunakan untuk bersuci, ada yang tergolong sah dan ada juga yang tergolong tidak sah. Air yang sah dipakai untuk bersuci adalah air yang jumlah atau volumenya banyak. Air yang dimaksud adalah air kali, air laut, air danau. Air yang tidak sah adalah air akulukuti,  yaitu air yang tertinggal di daun-daun. Air lain yang tidak sah untuk dipakai bersuci adalah air yang volumenya sedikit karena air ini tidak bisa diambil dengan menggunakan timba.
Fungsi religius yang diharapkan atau disampaikan melalui TRLK adalah menuntun sekaligus memberikan peringatan kepada anak-anak yang sedang ditoba,  untuk selalu jujur pada dirinya sendiri. Mereka diingatkan untuk tidak mengambil barang orang lain yang bukan miliknya, mereka harus selalu berusaha sedapat mungkin untuk mengembalikan barang tersebut pada pemiliknya atau pada keluarganya. Anak-anak yang sedang ditoba selalu diingatkan untuk menjaga lisan atau perkataanya dari segala perkataan yang kotor atau perkataan yang tidak bermanfaat, baik pada guru, kedua orang tua, kakak, serta pada adiknya.  Mereka diingatkan seperti ini, karena segala perbuatan kita di dunia ini kelak setelah kita kembali pada sang khalik akan dimintai semua pertanggungjawaban apa yang pernah kita perbuat di dunia yang fana  ini.

            Hal ini didukung oleh potongan tuturan berikut:
            Deala oferebuaha balano obulawa, ointa manikamu, deala ferebuaha mendaino atawa sesau karoo, seghea bhea, mina napohala keseno hakunaasi. Maanano totoluno, bhabhano ososo, ofekakodoho/ofokomiina bhari-bharie halano wamba ne gurundo, ne kamokulando koruduahando, ne isando bhe ne aindo.
           
            Terjemahannya:
            Mengambil barang berharga seperti emas, intan berlian atau megambil barang yang tidak berharga seperti sebatang sirih, seiris pinang kukumnya sama itu semua termasuk barang haram, ini untuk sesama manusia. Sedangkan pada Allah Taala yang pertama menyesal, kedua menjauhi serta meniadakan ucapan-ucapan yang tidak bermanfaat baik pada guru, kedua orang tua, pada kakak serta pada adik-adik kita. 


2.3  Makna TLRK
            Makna atau nilai  berhubungan dengan kebudayaan atau secara khusus dengan dunia simbolik dalam kebudayaan. Dunia simbolik merupakan tempat diproduksi dan disimpan muatan mental dan muatan kognitif kebudayaan, berupa pengetahuan dan kepercayaan, nialai-nilai dan norma yang ada dalam suatu kebudayan.
            Analisis makna TRLK dilakukan untuk menafsirkan penggunaan tanda bahasa yang berterima. Analisis diupayakan tidak sebatas pada makna tataran pertama yakni, berdasarkan struktur kebahasaannya, tetapi diupayakan sampai dengan penafsiran pada tataran kedua, yaitu makna sesuai konvensi budaya masyarakat etnik Muna. Hal di atas, sejalan dengan metode pemaknaan yang disarankan Muhadjir (1992: 191-193) yang membedakannya atas empat bagian, yaitu (1) terjemah; (2) tafsir; (3) ekstrapolasi; dan (4) pemaknaan. Makna TRLK dianalisis dengan menggunakan teknik pemaknaan yang merupakan upaya lebih jauh dari ekstrapolasi dengan melihat materi yang tersaji tidak lebih dari tanda-tanda atau indikator bagi sesuatu yang lebih jauh pada pemaknaan menjangkau hal yang trasendental.
            Analisis makna tidak terlepas dari analisis bentuk dan fungsi. Analisis bentuk dan fungsi merupakan langkah dasar untuk menganalisis makna. Teks TRLK terangkai bersama konteks. Hal ini dengan mencermati simbol-simbol untuk mendapatkan makna yang dikaitkan dengan hubungan teks dan konteks. Dalam proses pemaknaan peneliti mengungkapkan makna yang ada dalam TRLK, sebagai berikut.

2.3.1        Makna Pendidikan
Makna pendidikan yang diperoleh pada teks TRLK sebagai produk budaya etnik  Muna yang diilhami ajaran Islam yang sudah menjadi pedoman hidup bagi masyarakat etnik Muna dalam setiap melakukan aktivitas kehidupan adalah makna pendidikan budi pekerti. Untuk mencermati makna pendidikan secara mendalam dapat dilihat pada  kutipan TRLK  berikut.

Amando dotehie felo kabolosino Allah Taala

          ‘Bapak kandung ditakuti, anggap sebagai pengganti Allah SWT’

            Tuturan di atas mengandung makna pendidikan budi pekerti yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh anak dalam kehidupan di dunia khususnya dalam lingkungan keluarga, adalah mampu mengenal bapak kandungnya dengan baik. Mengenal bapak kandung dalam arti takut pada segala yang dilarangnya dan patuh pada segala yang diperintahkannya, itulah  gambaran anak yang takut pada larangan Allah dan patuh serta taat  pada semua perintah Allah SWT dengan segala kebesarannya.
            Sano fomasighoo itu kamokula moghane nofomasighoomo dua Allah Taala.
            Sano fomoraku itu kamokula moghane nofomorakumo dua Allah Taala.
           
Artinya:   
            Kalau disayang orang tua laki-laki kita sudah disayangi pula oleh Allah SWT
            Kalau dibenci oleh orang tua laki-laki berarti kita telah dibenci oleh Allah.   

            Tuturan di atas mengandung makna bahwa kemurkaan Allah akan ditimpakan pada anak, bila anak tersebut berbuat murka atau durhaka kepada orang tua laki-laki. Untuk itu dengan melalui proses TRLK sang anak diharapkan dapat memahami setiap isi TRLK yang disampaikan oleh imam atau tokoh agama. Karena konsekwensi kemurkaan Allah pada anak tergantung pada kepatuhan, ketaatan dalam menjalankan setiap perintah  baik orang tuanya dan menjauhi segala larangannya.      
Inando dotehie felo kabolosino Nabi Muhammadi
‘Ibu kandung ditakuti, anggap sebagai pengganti Nabi Muhammad.

Tuturan di atas mengandung makna bahwa betapa besar jasa ibu kandung kepada anak. Sejak mulai janin ia telah merawat kita, lalu ketika akan lahir ke dunia betapa menderitanya menahan rasa sakit. Ia mempertaruhkan nyawa antara hidup dan mati demi keselamatan kita. Setelah lahir, ia merawat kita sampai besar dengan penuh rasa kasih sayang. Melalui TRLK seorang anak diingatkan untuk selalu patuh dan taat pada perintah ibunya karena murka Allah tergantung pada murkanya ibu kandung. Betapa durhakanya kita sebagai anak setelah dewasa menunjukkan ketidakpatuhan kepada ibu kandung.

Isando dotehie felo kabolosino Malaekati
‘Kakak kandung ditakuti, anggap pengganti Malaikat’

Tuturan ini mengandung makna bahwa sebagai seorang anak yang taat pada Allah harus selalu menghargai kakaknya. Sebagai adik yang baik harus selalu melaksanakan setiap perintahnya yang mengarahkan pada hal-hal kebajikkan dan menjauhi segala yang dilarangannya yang mengarah pada kerusakan mental atau moral kita. Dalam budaya etnik Muna khususnya dalam TRLK seorang kakak dituntut harus selalu memberikan suri teladan yang dapat dijadikan contoh oleh adik-adiknya, sebagaimana isi dari TRLK yang menganggap kakak sebagai pengganti malaikat yang selalu mengajarkan kebaikan dan mencegah manusia dari perbuatan buruk.
Aindo doasiane, dopiarae felo kabholosino Muumini
‘Adik kandung disayangi, dipelihara, anggap pengganti kaum Mukmin’
 
Tuturan ini mengandung makna dengan melalui TRLK diharapkan seorang kakak untuk selalu menyayangi, memelihara adik-adiknya. Melalui TRLK ini pula diharapkan antara seorang kakak dan seorang adik dapat saling menyayangi, saling menghargai, saling mematuhi, dan saling menghormati. Menghargai yang adik berarti telah memberi kasih sayang dan memelihara harga diri sesama kaum mukmin.
Dalam surat Luqman (Q.S: 18) yang artinya “Dan janganlah engkau palingkan muka engkau dari manusia dan janganlah berjalan dimuka bumi dengan congkak. Sesungguhnya Allah tidaklah menyukai tiap-tiap yang sombong dan membanggakan diri”. Surat ini ditafsirkan oleh Hamka (1982: 135) bahwa pada prinsipnya ayat tersebut mengajak manusia agar berbudi luhur, sopan, santun, dan memiliki ahlak yang tinggi. Disimpulkan bahwa ayat tersebut mengandung dasar-dasar pendidikan bagi seorang muslim, yaitu pertama dapat menjadi sumber inspirasi mengatur pokok-pokok pendidikan kaum muslimin, dan menjadi dasar utama tegaknya rumah tangga muslim yaitu sikap hormat penuh cinta dan kasih sayang dari anak kepada ibu-bapak serta seluruh anggota keluarganya.
    
2.3.2        Makna Religius
Dalam tradisi kebudayaan masyarakat etnik Muna, TRLK merupakan pintu awal bagi seorang anak untuk mempelajari ajaran Islam secara umum. TRLK memiliki nilai-nilai religius. Nilai religius ini berhubungan dengan ajaran Islam sebagai kepercayaan yang dianut masyarakat etnik Muna. Makna religius menyatakan adanya hubungan yang erat antara manusia sebagai mahluk dengan Allah SWT sebagai sang khalik.
Makna religius dalam TRLK dapat dicermati melalui tuturan berikut:
Dosahadha be Debasa Dhoa
‘mengucapkan dua kalimat syahadat dan membaca doa’

            Mengucapkan dua kalimat syahadat dalam upacara katoba dilakukan dalam lafadz bahasa Arab dan bahasa Muna. Lafadz dalam bahasa Arab seperti berikut.

Asyhadu an lailaha ilallah wa asyhadu anna Muhammad rasulullah 3x

Lafadz dalam bahasa Muna sebagai berikut.
Aini dasumakusiimo. Miina bhe ompu nisomba sokati Allah Taala. Maka dasumakusiimo tora. Anabi Muhammadhi itu katuduno Allah Taala.

Artinya:
Saya bersaksi tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah Taala. Dan saya bersaksi pula bahwa Nabi Muahammad itu utusan Allah Taala.

            Mengucapkan dua kalimat syahadat mengandung makna bahwa kita sebagai manusia biasa harus menyembah Allah SWT, tidak menyekutukannya dengan mahluk ciptaannya, kita wajib menjalankan semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Kita juga harus mengakui bahwa Nabi Muhammad itu utusan Allah SWT yang merupakan nabi terakhir. 
            Islam menjadikan keluarga sebagai sendi utama dan pertama untuk memperkenalkan ajaran tauhid  kepada anak sejak usia dini, sehingga kelak ia dewasa nanti sudah dapat mengenal siapa sebenarnya Tuhannya. Hal ini ditegaskan pula oleh Hamka (1982: 27) diwaktu kecil itulah mulai ditanamkan pendidikan tauhid dalam lingkungan keluarga sebagai lembaga pendidikan utama dan pertama sebagaimana yang ditegaskan dalam hadist Nabi Muhammad yang artinya: “Tuntutlah ilmu mulai dari ayunan hingga ke liang lahat” . Merujuk pada hadist ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa pendidikan itu berlangsung seumur hidup.    
            Makna religius TRLK ditemukan pula dalam hal air yang sah untuk bersuci dan air yang tidak sah untuk bersuci. Air suci yang dimaksud bukan untuk berwudhu, akan tetapi air yang digunakan untuk membersihkan badan dari kotoran besar (hadast besar) maupun kotoran kecil (hadast kecil). Adapun air yang sah untuk mensucikan badan dari kedua hadast tersebut adalah air yang bisa ditimba seperti air laut, air kali, dan air danau. Sedangkan air yang tidak sah untuk mensucikan badan adalah air yang tertinggal di daun-daun, karena air tersebut tidak bisa ditimba. Melalui tuturan katoba seorang anak dibekali pengetahuan mengenai kesucian badan baik dari hadast besar maupun hadast kecil sebagaimana yang diajarkan oleh Allah melalui rasulnya Nabi Muhammad SAW.
Untuk lebih jelas tentang uraian di atas dapat dilihat pada kutipan tuturan berikut.
Oe sumahano oeno laa, oeno tehi, oeno ghuse, oe balano
‘Air yang sah yaitu air laut, air kali, dan air danau’.

Oe pata sumahano oe tuampeeno ne roo sau, ne roo kuni bhahi ne kaeo. 
‘Air yang tidak sah yaitu air yang tertinggal di daun-daun tumbuhan  seperti daun pohon, dan daun kunyit’.

            Dalam pandangan Islam seseorang haruslah selalu bersuci apabila ia telah selesai membuang hadast, baik hadast besar maupun hadast kecil. Bersuci harus memakai air yang suci lagi mensucikan artinya air tersebut tidak termasuk dalam golongan air yang tidak mensucikan.  


 Kesimpulan
            TRLK sebagai produk budaya masyarakat etnik Muna mengungkapkan beberapa hal penting yang berhubungan dengan bentuk TRLK yang berbentuk teks naratif, fungsi TRLK, dan makna TRLK. TRLK  berbentuk narasi yang dituturkan pada saat dilaksanakan TRLK. TRLK hanya memiliki satu tahap dalam penyampaiannya. TRLK merupakan wacana naratif yang memiliki suasana hati naratif dan suasana hati tuturan. Suasana hati tuturan meliputi: suasana hati intruksi, suasana hati bahagia, suasana hati damai, dan suasana hati aman.       
Sehubungan dengan analisis fungsi, penulis menemukan beberapa fungsi yang bermanfaat bagi masyarakat etnik Muna. Fungsi-fungsi tersebut apabila diapresiasikan dan direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari sangat besar manfaatnya. Adapun fungsi-fungsi tersebut meliputi fungsi didaktis dan fungsi religius.
Untuk memantapkan kedudukan TRLK dalam masyarakat etnik Muna dilaksanakan penelusuran terhadap makna yang dikandungnya. Penelusuran makna merujuk pada makna harafiah dan berdasarkan makna simbol, yaitu makna yang berhubungan dengan konteks atau kode budaya, sehingga hasilnya diharapkan dapat berfungsi secara maksimal dalam kehidupan masyarakat etnik Muna. Makna yang dikandung TRLK, yaitu makna pendidikan dan makna religius.  
Melalui langkah-langkah kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa teks TRLK sebagai sebuah wacana lisan yang memiliki unsur-unsur wacana. Masing-masing unsur memiliki keterkaitan antara satu sama lain. Bentuk-bentuk keterkaitan ini menunjukkan bahwa TRLK adalah sebuah teks yang utuh karena unsur-unsur teks dan konteks mengandung satu kesatuan.















DAFTAR PUSTAKA


Alfian. 1980. Politik Kebudayaan dan Manusia Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Alwasilah, Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.

Bagus, I Gusti Ngurah dan Aron Meko Mbete. 2001. Kumpulan Materi Kuliah Linguistik Kebudayaan. Tidak Dipublikasikan. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana, Program Magister (S2) Linguistik.

Bertaha, Ni Luh Sutjiati. 1998. “Materi Linguistik Kebudayaan” Linguistika. Denpasar: Program Magister (S2) Linguistik Universitas Udayana.

Brown, Gollian and George Yule. 1996. Analisis Wacana. Diterjemahkan oleh Soetikno. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Burke, Peter and Peter Rey. 1987. The Social History of Language: Cambridge Studies in Oral and Culture. Cambridge University Press.

Danandjaya, James. 1991 Foklore Indonesia, Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT. Temprit.

De Vito, Joseph A. 1970. The Psychology of Speech and Language: An Introduction to Psycholinguistics. New York: Random House.

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistics Anthropology. Cambridge: University Press.

Frawley, William. 1992. Linguistic Semantics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Finochiaro, May. 1974. English as a Second Language: From Theory to Practice. New York: Regent Publishing.

Foley, William A. 1997. Antropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell.

Fokkema, D.W. dan Kunne- IBSCH, Elrud. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Halliday, M.A..K. dan Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Diterjemahkan oleh Asrudin Barori Tou dan M. Ramlan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Halliday, M.A..K. 1985. An Introductionto Fungtional Grammar. London: Edward Arnold.

Kaplan, David dan Albert, A. Manners. 1999. Teori Budaya. Diterjemahkan oleh Landung simatupang. Yogyakarta: Pusat Pelajar.

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia.

Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: DIAN Rakyat.

Mangunwijaya, Y.B. 1991. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius.

Muhadjir, H. Noeng. 1992. Metodologi Penelitian Kualitatif: Telaah Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, Realisme Metaphisik. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Rusyana, Yus. 1996. Tuturan tentang Pencak Silat dalam Tradisi Lisan Sunda. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.

Rosidi, Ajib. 1995. Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Jaya.    
Verheijen, A.J. 1991. Manggarai dan Wujud Tertinggi. Jilid I. Jakarta: LIPI-RUL.
Wierzbicka, Anna. 1996. Semantics: Primes and Universal. New York: Oxford University Press.


















TENTANG PENULIS

        Hardin, S.Pd. Adalah Alumni mahasiswa di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP Universitas Haluoleo Tahun 2009 dengan berpredikat Lulusan terbaik II.. Kemudian, ia melanjutkan program magister (S2) pada  Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana melalui program beasiswa KTL-DIKTI tahun 2010. Di waktu pendidikan S1-nya, ia pernah mewakili mahasiswa mengikuti Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM) dan Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKM-Penelitian) baik di tingkat Universitas, sampai di tingkat Nasional.  Salah satu tulisannya adalah “Ritual Katoba   sebagai Produk dan Praktek Budaya ISLAM yang Mencerminkan Seperangkat Norma  dan Nilai Sosial – Budaya bagi Etnik Muna” di presentasekan pada LKTM-PIMNAS bertempat di Hotel Bumi Asih Makassar  . Selain aktif di bidang karya tulis, ia juga aktif di berbagai organisasi internal maupun eksternal kampus antara lain pernah menjabat Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Unhalu periode 2006-2007, Ketua bidang IPTEK Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Kendari periode 2008-2009, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FKIP Unhalu periode 2007-2008, dan Pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia Kota Kendari periode 2008-2010, Sekretaris Bidang Internal Badan Eksekutif Mahasiswa FKIP Unhalu periode 2006-2007, Sekretaris Komisi Anggaran Majelis Permusyawaran Mahasiswa Unhalu periode 2008-2009, dan Pengurus Mahsasiswa Pencinta Mushollah Universitas Haluoleo Kendari. Kemudian saat ini aktif Dewan Pimpinan Daerah IMM Provinsi Bali.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar