Kamis, 14 April 2011

SUMBANGAN KAJIAN BUDAYA TERHADAP MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (SEBUAH KAJIAN AKSIOLOGI)


Hardin, S.Pd.
Mahasiswa Kajian Budaya UNUD
Kamis, 14 April 2011

I. Pendahuluan         
            Kajian budaya (Cultural Studies) muncul dalam diskursus akademik sekitar tahun 1960-an, dimulai di inggris dan kemudian menyebar ke amerika utara dan Australia. Namun sampai sekarang – bahkan setelah sampai ke Indonesia – tidak ada kenyamanan defenisi yang ditawarkan oleh kajian budaya, atau dengan kata lain kajian budaya tidak memiliki ranah intelektual atau disiplin yang terdefenisi dengan jelas.
Barker (2010: 9-10) mengatakan, bahwa kajian budaya dikatakan memberikan pemaknaan-pemaknaan kalau ia tidak menaruh perhatian khusus pada budaya. Ia terus tumbuh subur lewat caranya yang dinamis dalam memandang kebudayaan sebagai sebuah proses yang selalu mengalami pembaharuan, bukan kebudayaan sebagai suatu rangkaian artefak atau simbol-simbol yang beku. Hanya saja kajian budaya ‘mencoba’ membedaka dirinya dengan studi kebudayaan (Study of Culture). Artinya kajian budaya beroperasi pada konsep luas mengenai kebudayaan.                                                                       Akan tetapi, realitas keseharian tadi bukan berarti tidak sarat politis ( karena memang medan-medan politis adalah wacana yang vital dalam kajian budaya). Artinya kajian budaya mencoba mengungkapkan hubungan (relasi) antara kebudayaan dengan struktur kehidupan diluar kebudayaan itu sendiri, khusunya terhadap kekuasaan. Kajian budaya membongkar semua model relasi kekuasaan yang beroperasi diseluk beluk kehidupan manusia, baik kekuasaan yang mendominasi maupun yang menghegemoni.          Fenomena inilah yang dilihat oleh kajian budaya sebagai sebuah perlawanan akan hegemoni kelas, sebuah tatanan yang telah dikonstruksi dan dipatenkan dalam realitas yang didukung oleh sistim-sistim yang menindas. Sebagai salah satu fenomena postmodern, kajian budaya mendobrak tatanan-tatanan serta narasi-narasi modern yang elitis. Artinya area elitis inilah yang ‘diobrak-abrik’ karena selama ini telah menciptkan+ sebuah persepsi yang salah kaprah mengenai kebudayaan. Hal ini bisa dilihat dari cara pandang sebuah kelompok yang merasa lebih tinggi melakukan penindasan baik secara fisik, politik, ideologis maupun kultural terhadap kelompok yang dianggap lebih rendah.
Dengan demikian ide-ide pokok seperti ideology, formasi sosial, kelas sosial, hegemoni dan kekuasaan merupakan wacana dan konsep-konsep teoritis yang selalu digunakan oleh kajian budaya untuk menjelajahi, mengevaluasi bahkan mengintervensi realitas-realitas sosial kita. Artinya, hadirnya kajian budaya memungkin kita untuk lebih bisa bernegosiasi atas tatanan-tatanan dalam struktur kehidupan, sebuah tawar menawar posisi dan kepentingan yang lebih sehat. Kajian budaya juga peka dengan kondisi masyarakat.                K
esadaran masyarakat dunia terhadap pentingnya kelestarian lingkungan hidup mulai muncul sejak tahun 1950-an yang dipicu oleh perasaan terancam akibat peningkatan pencemaran lingkungan hidup yang berasal dari industri, transportasi dan pertanian. Kesadaran yang secara cepat menyebar ke tataran global, bermula di negara maju yang mempunyai banyak industri, penggunaan kendaraan bermotor dalam jumlah yang besar dan pertanian modern yang menggunakan berbagai jenis pestisida, pupuk kimia, dan bahan pengendali hama lainnya. Pencemaran lingkungan berupa asap kabut yang sering berhari-hari menyelimuti Los Angeles dan New York, serta bau menyengat dari air sungai di perkotaan akibat limbah industri yang mendapatkan publisitas yang besar-besaran di media makin mengukuhkan kesadaran untuk mengendalikan pencemaran lingkungan tersebut (Soemarwoto,2001:12).                                                      Masyarakat dunia telah berusaha melakukan upaya-upaya pengendalian terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Berbagai kesepakatan telah dilakukan agar dampak yang terjadi dapat diminimalkan, seperti Deklarasi Stokholm, Protocol Kyoto, maupun Bali Road Map. Namun, kehancuran lingkungan hidup yang menjadi trauma umat manusia terus saja berlangsung. Oleh karena itu, mulai dirasakan adanya kebutuhan untuk melakukan perubahan yang mendasar terhadap reaksi umat manusia menghadapi kekuasaan alam semesta. Salah satu perubahan besar yang sedang berlangsung dalam upaya penyelamatan masa depan lingkungan hidup adalah dengan makin memberikan peluang kepada pengetahuan lokal untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.Semakin banyak dilakukan dekonstruksi terhadap cara pandang umat manusia terhadap kekuasaan alam semesta. Pada bagian inilah, perspektif kajian budaya makin mendapatkan tempat untuk dijadikan pemecah kebuntuan cara pikir umat manusia menghadapi tantangan alam semesta. Tulisan ini akan menguraikan sumbangan pemikiran berbasis kajian budaya dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup ditinjau dari aspek aksiologi.

II. Kesadaran Masyarakat terhadap permasalahan perubahan lingkungan hidup
            Kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup, semakin menarik perhatian dunia internasional setelah pada tahun 1962, Rachel Carson seorang penulis berkebangsaan Amerika yang bekerja sebagai editor US Fish and Wildlife Service menerbitkan buku berjudul The Silent Spring (musim semi yang sunyi). Buku yang sangat populer pada masa itu, mengisahkan bagaimana alam di musim semi yang semula cerah ceria penuh dengan suara burung berkicau tiba-tiba menjadi sunyi akibat musnahnya binatang berkicau tersebut sebagai dampak pencemaran bahan-bahan kimia yang memotong rantai makanannya. Kontrovesi yang diakibatkan oleh buku tersebut memberikan dampak yang luas terhadap kesadaran akan bahaya pencemaran lingkungan hidup bagi kehidupan manusia(Hodges, 1973:6; Soemarwoto, 2001:9).                   Pemenuhan kebutuhan hidup manusia memiliki dimensi yang sangat luas dan beragam karena adanya perbedaan pandangan hidup bangsa-bangsa di dunia terhadap pengertian kesejahteraan. Di picu oleh arus globalisasi, maka pemenuhan kebutuhan hidup manusia seperti penyediaan makanan, sandang dan perumahan meningkat secara tajam yang berdampak pada gangguan kelestarian lingkungan hidup (Tucker, 2003:8).    Setelah melakukan pengamatan yang mendalam terhadap dampak pembangunan bagi kelestarian lingkungan hidup, maka pada tahun 1987 Komisi Sedunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (World Commision on Environment and Development) mengumumkan laporan Borundlandt tentang konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berarti pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Diharapkan semua pemerintahan di dunia dapat mengadopsi konsep tersebut demi kesejahteraan masyarakat (Soemarwoto, 2001:11).  Namun,untuk menterjemahkan konsep pembangunan berkelanjutan menjadi program-program pembangunan yang ramah lingkungan merupakan masalah yang tidak sederhana, khususnya bagi negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan masalah yang kompleks yang seringkali menimbulkan konflik yang tidak ada ujung pangkal penyelesaiannya. Oleh karena itu, teori-teori pembangunan yang berasal dari negara maju yang diperkirakan memiliki keberhasilan dalam implementasinya banyak diadopsi begitu saja oleh para pemimpin pemerintahan di negara-negara sedang berkembang melalui gagasan yang diwacanakan oleh kaum teknokrat di negara bersangkutan.                                                                                                                                     Pada tahun 1972, Swedia mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan sebuah konferensi PBB di Stokholm yang menyusun deklarasi PBB untuk penanggulangan pencemaran lingkungan hidup. Telah disadari bahwa peningkatan pencemaran lingkungan hidup berkaitan erat dengan upaya memenuhi kebutuhan hidup manusia yang populasinya semakin bertambah (UNEP,2004:9). Pemenuhan kebutuhan hidup manusia memiliki dimensi yang sangat luas dan beragam karena adanya perbedaan pandangan hidup bangsa-bangsa di dunia terhadap pengertian kesejahteraan. Di picu oleh arus globalisasi, maka pemenuhan kebutuhan hidup manusia seperti penyediaan makanan, sandang dan perumahan meningkat secara tajam yang berdampak pada gangguan kelestarian lingkungan hidup (Tucker, 2003:8).                                                               Setelah melakukan pengamatan yang mendalam terhadap dampak pembangunan bagi kelestarian lingkungan hidup, maka pada tahun 1987 Komisi Sedunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (World Commision on Environment and Development) mengumumkan laporan Borundlandt tentang konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berarti pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Diharapkan semua pemerintahan di dunia dapat mengadopsi konsep tersebut demi kesejahteraan masyarakat (Soemarwoto, 2001:11).                     Namun,untuk menterjemahkan konsep pembangunan berkelanjutan menjadi program-program pembangunan yang ramah lingkungan merupakan masalah yang tidak sederhana, khususnya bagi negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan masalah yang kompleks yang seringkali menimbulkan konflik yang tidak ada ujung pangkal penyelesaiannya. Oleh karena itu, teori-teori pembangunan yang berasal dari negara maju yang diperkirakan memiliki keberhasilan dalam implementasinya banyak diadopsi begitu saja oleh para pemimpin pemerintahan di negara-negara sedang berkembang melalui gagasan yang diwacanakan oleh kaum teknokrat di negara bersangkutan.
III.Pemahaman Masyarakat Terhadap Lingkungan Hidup
            Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menguraikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Secara umum lingkungan hidup dapat dibagi menjadi tiga bagian yang besar yakni Lingkungan A (Abiotik), B (Biotik), dan C (Culture/Kebudayaan Masyarakat/Sosial). Lingkungan A adalah lingkungan yang berkaitan dengan benda-benda fisik seperti air, tanah, udara, angin, batu-batuan, dan lain lain. Lingkungan B adalah berkaitan dengan lingkungan flora dan fauna. Termasuk didalamnya organisme hidup mulai dari organisme bersel satu hingga organisme tinggi. Sedangkan lingkungan C berkaitan dengan aspek kebudayaan manusia yang menyangkut aspek sosial, ekonomi, budaya, kesehatan, keamanan, dan lain lain.                                                                  Lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas wilayah, baik wilayah negara maupun wilayah administratif. Akan tetapi, lingkungan hidup yang berkaitan dengan pengelolaan harus jelas batas wilayah wewenang pengelolaannya. Secara hukum, lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang tempat negara Republik Indonesia melaksanakan kedaulatan dan hak berdaulat serta yurisdiksinya. Dalam hal ini lingkungan hidup Indonesia tidak lain adalah wilayah, yang menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi alam dan kedudukan dengan peranan strategis yang tinggi nilainya sebagai tempat rakyat dan bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam segala aspeknya.                              Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas berbagai subsistem, yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan geografi dengan corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berlainan. Keadaan yang demikian memerlukan pembinaan dan pengembangan lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup akan meningkatkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan subsistem, yang berarti juga meningkatkan ketahanan subsistem itu sendiri. Dalam pada itu, pembinaan dan pengembangan subsistem yang satu akan mempengaruhi subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketahanan ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya. Untuk itu, diperlukan suatu kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.                      Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Dalam melaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, perana semua pihak sangat diharapkan untuk keberlanjutan daya dukung lingkungan hidup.Dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia, diharapkan terjadi suatu kegiatan pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yakni suatu upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.                                                                         Pembangunan memanfaatkan secara terus-menerus sumber daya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam terbatas dan tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan permintaan akan sumber daya alam tersebut makin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat dan beragam. Di pihak lain, daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya tampung lingkungan hidup dapat menurun.                                                      Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Sehingga keberlajutan pembangunan seharusnya diimbangi dengan kemampuan untuk tetap melestarikan sumber daya yang ada demi generasi yang akan datang. Peranan pemuda tentu sangat penting dalam menjaga agar sumber daya yang ada tetap dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.                                                                                                   Kegiatan pembangunan yang makin meningkat mengandung risiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Sehingga diperlukan upaya pelestarian daya tampung lingkungan hidup sebagai rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya.                                         Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu akan merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya. Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan kepentingan rakyat sehingga menuntut tanggung jawab, keterbukaan, dan peran anggota masyarakat, yang dapat disalurkan melalui orang perseorangan, organisasi lingkungan hidup, seperti lembaga swadaya masyarakat, kelompok masyarakat adat, dan lain-lain, untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang menjadi tumpuan keberlanjutan pembangunan.                                                             Pembangunan ekonomi dengan bertumpukan pada pembangunan industri yang menjadi andalan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat akan berdampak pada upaya pelestarian lingkungan hidup sebagai akibat pemakaian berbagai jenis bahan kimia dan zat radioaktif dalam proses produksi dan pemeliharaan. Disamping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.                                                      Secara global, ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup manusia. Pada kenyataannya, gaya hidup masyarakat industri ditandai oleh pemakaian produk berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal itu merupakan tantangan yang besar terhadap cara pembuangan yang aman dengan risiko yang kecil terhadap lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Menyadari hal tersebut di atas, bahan berbahaya dan beracun beserta limbahnya perlu dikelola dengan baik. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah Indonesia.                                                          Makin meningkatnya upaya pembangunan menyebabkan akan makin meningkat dampaknya terhadap lingkungan hidup. Keadaan ini mendorong makin diperlukannya upaya pengendalian dampak lingkungan hidup sehingga resiko terhadap lingkungan hidup dapat ditekan sekecil mungkin. Upaya pengendalian dampak lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tindakan pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.                                                                   Suatu perangkat hukum yang bersifat preventif berupa izin melakukan usaha dan/atau kegiatan lain. Oleh karena itu, dalam izin harus dicantumkan secara tegas syarat dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan lainnya. Apa yang dikemukakan tersebut di atas menyiratkan ikut sertanya berbagai instansi dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga perlu dipertegas batas wewenang tiap tiap instansi yang ikut serta di bidang pengelolaan lingkungan hidup.                                                                                                                                      Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem pengelolaan lingkungan hidup sebagai bagian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup.
IV. Nilai Aksiologis pada Kajian Budaya
            Aksiologi meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun+ fisik material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine quanon yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu. Aksiologi mencakup nilai-nilai sebagaimana etika dan moral yang secara emperatif menjadi dasar dan arah pengalian, penelitian dan penerapan ilmu.                                                                                       Dilihat dari implementasinya dalam kehidupan masyarakat, kajian budaya yang merupakan bagian dari kajian filsafat ilmu ditinjau pada aspek aksiologisnya memiliki nilai guna. Ilmu kajian budaya (culture studies) memiliki nilai guna/ fungsi ganda yakni fungsi akademik (penemuan dan pengambangan keilmuan) dan fungsi non-akademik. Penerapan fungsi yang pertama telah dimulai sejak akhir tahun 1960-an.                                              Dalam proses perkembangan kajian budaya yang pesat seperti itu, filsafat ilmu dengan komponen-komponen yang menjadi tiang-tiang penyangga eksistensi ilmu pengetahuan, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi, akan dapat mengarahkan pada strategi pengembangan kajian budaya seperti tersebut di atas. Strategi tersebut tidak hanya menyangkut etik dan heuristik, bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan kajian budaya kebermanfaatannya terhadap masyarakat, akan tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan umat manusia secara umum. Dikutip dalam (Agus Rinanto, http://guztea.blogspot.com/2010/06/ontologi-epistemologi-dan-aksiologi.html)
            Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.  Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S.Suriasumantri mengartika aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.                                                                      Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
V. Sumbangan Kajian Budaya dalam Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup dalam |Masyarakat
            Kajian Budaya sebagai arena interdisipliner yang mempergunakan beragam pendekatan untuk menguji hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan melalui telaahan terhadap semua praktik, institusi, sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nuilai, kepercayaan, kompetensi, rutinitas kehidupan, dan bentuk-bentuk kebiasaan perilaku masyarakat dirasakan sangat tepat dijadikan pemecah kebuntuan olah pikir manusia yang terlalu lama dipengaruhi alam pikir terstruktur. Proses dekonstruksi pemikiran modernitas yang sangat mengagungkan klaim positivistis dalam menganalisis sumber kehancuran alam semesta, ternyata dapat secara mudah menjelaskan relasi kekuasaan dan pengetahuan yang direpresentasikan oleh praktek-praktek pembangunan yang tidak ramah lingkungan.                                                                                                                 Salah satu sumbangan perspektif kajian budaya dalam upaya penyelamatan masa depan alam semesta adalah munculnya diskursus pembangunan berkelanjutan. Konsep yang memadukan isu sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup memberikan pengertian yang mudah terhadap pentingnya penghargaan terhadap nilai-nilai dan pengetahuan lokal untuk menyelamatkan masa depan lingkungan hidup. Relasi kebijakan pembangunan dengan upaya-upaya menyeimbangkan kebutuhan pembangunan dan kemampuan sumber daya alam dapat dijelaskan dengan sederhana tentang pentingnya peran tokoh-tokoh lokal dalam perencanaan pembangunan. Selain itu, melalui perspektif kajian budaya dapat diperlihatkan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak akan tercapai tanpa memasukkan unsur konservasi lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan non-fisik, ke dalam kerangka proses pembangunan.                                                                           Perspektif kajian budaya memberikan penilaian yang setara terhadap masalah-masalah yang sebelumnya dianggap marginal. Seperti dalam konteks pencemaran lingkungan hidup akibat perilaku masyarakat perkotaan terkait sampah dan limbah, melalui cara pandang berbasis kajian budaya dapat dilakukan dekonstruksi terhadap cara pandang masyarakat terhadap sampah dan limbah. Pada pengertian lama, sampah dan limbah dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna, kotor, dan harus dihindarkan. Namun, sesuai dengan realitas yang ada, muncul pengetahuan baru yang menempatkan sampah dan limbah sebagai sesuatu yang penting, dan harus dihargai secara pantas karena memiliki nilai ekonomi dengan mengubahnya menjadi pupuk, sumber energi, atau materi yang berguna lainnya. Refleksi ini memungkinkan masyarakat menerima dengan baik program-program pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, seperti pembangunan instalasi pengolahan sampah, instalasi pengolahan air limbah, dan program pengamanan pantai.                                                                                                      Pada tataran kebijakan, perspektif kajian budaya seharusnya secara mudah dapat menjelaskan pentingnya keberpihakan terhadap upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup melalui perencanaan pembangunan yang membela kepentingan lingkungan. Berdasarkan atas kondisi dan isu lingkungan yang berkembang di masyarakat , dikaitkan dengan pengelolaan lingkungan di tataran global yang telah dilaksanakan oleh negara-negara yang tergabung dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup PBB, dapat dikemukakan beberapa program yang bisa dijadikan prioritas dalam mengamankan perubahan lingkungan hidup, diantaranya:
1) Meningkatkan upaya rehabilitasi hutan dan reboisasi lahan kritis di dalam dan di sekitar kawasan hutan serta melakukan inventarisasi dan pemantauan kemungkinan munculnya lahan kritis baru, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.
2) Penerapan teknik konservasi tanah dan air pada lahan pertanian dan lahan kritis.
3) Melakukan pembinaan, pengelolaan, pengendalian dan penertiban usaha pertambangan, baik usaha tambang pada lahan pemerintah maupun lahan masyarakat
4) Mengembangkan air baku baik yang berasal dari air permukaan maupun dari air tanah dan mata air.
5) Mengidentifikasi sumber-sumber pencemar yang dapat mengganggu potensi sumber air dan mengupayakan kegiatan-kegiatan aksi untuk melestarikan dan mencari alternatif sumber air baku.
6) Peningkatan partisipasi masyarakat secara aktif, memikirkan dan menunjukkan sikap dan perilaku dalam penanganan sampah dan limbah
7) Meningkatkan usaha terpadu untuk melakukan upaya yang dapat menjaga kualitas udara terutama di daerah perkotaan,khususnya dengan program meningkatkan kualitas transportasi publik.
8) Pemberdayan terpadu masyarakat miskin berbasis pada potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya.
9) Mengembangkan sumber energi yang terbarukan/energi alternatif untuk mengurangi konsumsi bahan energi tidak terbarukan.                                                                       
10) Mengoptimalkan konsumsi produk-produk lokal dan berbasis manajemen hijau/berwawasan lingkungan.
VI. Penutup
            Kajian budaya berusaha mengekplorasi hubungan antara bentuk-bentuk kekuasaan dan kebudayaan untuk dapat melakukan perubahan. Perubahan lingkungan global yang menjadi tantangan di tataran lokal memerlukan komitmen bersama untuk melakukan adaptasi dan mitigasi agar terus terjadi keberlanjutan kehidupan. Kesadaran terhadap perubahan lingkungan telah menjadi komitmen bersama masyarakat dunia. Sebagai bagian dari masyarakat internasional yang memiliki hak dan kewajiban yang sama di bidang lingkungan hidup, maka warga masyarakat lokal memiliki kewajiban untuk ikut bersama-sama menjaga kelestarian daya dukung lingkungan hidup yang menjadi tempat kehidupannya. Hal itu dapat dilakukan dengan ikut secara aktif dalam setiap kegiatan-kegiatan pelestarian lingkungan hidup melalui tindakan bersifat lokal yang langsung dapat dirasakan perubahannya.


DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. 2005. Culture Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: PT Bintang Pustaka
Capra F., 2004, Titik Balik Peradaban-Sains,Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan, Terjemahan dari buku The Turning Point oleh Thoyibi M., Yogyakarta: Penerbit Bentang Pustaka
Capra F., 2005, The Hidden Connection : Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru, Penterjemah Andya Primanda, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra
Hodges,L., 1973. Environmental Pollution, New York: Holt, Rinehart and Winston.
Soemarwotto O.,2001, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembangunan Ramah Lingkungan: Berpihak Kepada Rakyat, Ekonomis,Berkelanjuta., Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Tucker M,E dan Grim J.A.,2003, Agama, Filsafat,dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Undang-Undang no 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup





Tidak ada komentar:

Posting Komentar